POKOK PERMASALAHAN DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL
Nazaruddin
Siregar
Pendahuluan
Organisasi perburuhan Internasional– ILO
mengemukakan studi pengalaman Indonesia oleh Patriek Quinn, 2003 tentang
kebebasan berserikat dan perun-dingan bersama pokok permasalahan dalam Hubungan
Industrial. Sistem hubungan industrial Indonesia terdiri dari sejumlah elemen
yang meliputi kerangka hukum, peran dan sikap mitra sosial, dan maraknya
budaya. Hal-hal ini meliputi kerangka hukum, peran dan sikap mitra sosial, dan
budaya “ adat kebiasaan dan praktik “ yang umum di masyarakat – yaitu bagaimana
kebiasaan yang berlaku dalam menangani hubungan industrial dan isu-isu mana
yang lazimnya menjadi pokok perundingan antara pekerja dan pengusaha. Bagian
ini mengkaji beberapa isu penting dalamdiskusi hubungan industrial,
kecenderungan-kecenderungan dalam perselisihan industrial, isu-isu yang
menyebabkan atau memicu perselisihan, dan langkah-langkah apa yang dapat
diambil untuk meningkatkan hubungan industrial.
Faktor pengaruh hubungan industrial.
Sistem remunerasi atau pemberian imbalan
suatu perusahaan memberikan pengaruh kuat hubungan industrial. Komponen upah
buruh biasanya terdiri dari upah pokok dan berbagai tunjangan dikurangi
sejumlah potongan. Komponen upah buruh dapat meliputi komponen-komponen yang
ditunjukan dalam Tabel 1. Faktor yang mempengaruhi adalah jaminan untuk dapat
terus bekerja, apakah status pekerjaan lemah atau wajar cukup aman. Sering kali
tingkat imbalan tunjangan dikaitkan dengan status pekerjaan. Buruh dewasa ini
dipekerjakan berdasarkan kontrak, tidak menjamin kelangsungan pekerjaan.
Dalam perusahaan umumnya mengguna-kan
empat sistem pembayaran yang berbeda : status sebagai pekerja harian lepas,
status sebagai pekerja dengan upah per potong/satuan hasil atau status sebagai
pekerja kontrak, status sebagai pekerja tetap harian, dan status sebagai
pekerja tetap. Dari katagori tersebut hanya status sebagai pekerja tetap yang
memberikan jaminan kerja yang secara hukum bersifat mengikat. Dari temuan diketahui
bahwa dua pertiga dari buruh tersebut dipekerjakan berdasarkan kontrak kerja
yang tidak memberikan kepastian untuk dapat terus bekerja, yang menyebabkan
mereka dapat dengan mudah diberhentikan, dan banyak pekerja tidak menerima upah
kalau sakit atau tidak masuk karena alasan apapun.
Perspektif hubungan industrial, hubungan
kerja mempunyai dua elemen yang diharapkan mengarah pada situasi tawar-menawar
yang rumit. Elemen pertama adalah system imbalan yang relatif kompleks, dengan
banyak variable tunjangan, yang masing-masing mempunyai potensi menjadi sumber
perselisihan. Elemen yang kedua adalah banyaknya pekerja berdasarkan kontrak
kerja yang tidak memberikan kepastian untuk dapat terus bekerja.
Tabel 1-Komponen-komponen upah pekerja di
perusahaan besar
Upah tetap
|
Upah pokok (biasanya dikaitkan dengan
upah minimum)
Tunjangan keluarga
Tunjangan masa kerja
|
Berbagai tunjangan
|
Tunjangan makan
Tunjangan transportasi
Tunjangan kesehatan
Tunjangan pendidikan
Bonus prestasi
Insentif untuk pekerjaan per satuan
hasil
Tunjangan kerja shift
Tunjangan tugas khusus
Tunjangan kopi
Lembur hari kerja
Lembur hari Minggu
Lembur hari Libur
|
Potongan-potongan
|
Jamsostek
Pajak penghasilan
Iuran serikat pekerja
|
Masalah normatif dan non-normatif
Masalah normatif yang ditetapkan
undang-undang sebagai standar upah minimum dan libur tahunan dan standar lain
yang disepakati, yang terutama dalam perjanjian kerja bersama. Masalah non
normatif menyangkut yang tidak memiliki standar hukum secara langsung atau yang
berkaitan dengan upaya mem-perbaiki ketentuan dalam standar yang telah
ditetapkan. Tabel 2 menunjukan proporsi perselisihan yang melibatkan tuntutan
normatif dan tuntutan non normatif. Kurang lebih dua pertiga perselisihan yang
terjadi menyangkut hal-hal non normatif. Tabel 3 menunjukan frekuensi
perselisihan mengenai berbagai masalah normatif. Masalah normatif yang sering
dipersoalkan menyangkut pelaksanaan upah minimum, pemecatan, cuti, Jamsostek
dan pembayaran upah lembur.
Upah minimum
Upah minimum di Indonesia diperkenalkan
tahun 1996, peran upah minimum semakin penting. Hingga tahun 2000, tingkat upah
minimum ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja untuk tiap propinsi di Indonesia .
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, mulai tahun 2000 tanggung jawab
menetapkan upah minimum terletak di pundak pemerintah propinsi dan pemerintah
kabupaten.
Untuk menetapkan upah minimum, dibentuk
dewan pengupah yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah setempat, kantor
dinas propinsi dari unit terkait serikat pekerja, pengusaha, dan akademisi.
Dewan berfungsi melakukan survei dan menghitung biaya pokok kebutuhan hidup.
Survei tersebut mengkaji harga dari sejumlah bahan pokok di daerah sekitarnya,
menghitung kemampuan perusahaan dalam membayar kenaikan upah minimum dan
mengusulkan angka untuk upah minimum dengan memper-timbangkan informasi yang
diperoleh, biaya inflasi dan faktor-faktor lainnya.
Proposal untuk menyesuaikan upah minimum
diajukan kepada gubernur atau bupati setempat untuk mendapatkan otorisasi atau
pengesahan. Upah minimum biasanya ditetapkan untuk jangka waktu dua belas bulan
dan ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup minimum seorang pekerja lajang.
Selain itu juga terdapat upah-upah minimum untuk sektor lapangan kerja
tertentu. Pengusaha yang merasa tidak sanggup membayar upah minimum dapat
meminta dispensasi untuk kemudian menyelidiki situasi keuangan perusahaan tersebut
sebelum mengambil suatu keputusan.
Perdebatan tentang proses upah minimum
kemungkinan akan berlanjut terutama penting akibat tidak adanya kapasitas
kelembagaan yang mendukung perundingan bersama. Beberapa berpen-dapat bahwa
ketika organisasi serikat pekerja memperoleh kekuatan dan lebih terlibat dalam
negosiasi tingkat upah ditingkat perusahaan dan industri, peran pemerintah
semestinya sudah tidak diperlukan lagi.
Namun jelas bahwa pekerja masih belum
terlindungi oleh perundingan bersama yang efektif. Karena itu, upah minimum
tetap penting dan setiap perubahan radikal terhadap struktur upah minimum
cenderung memicu perlawanan secara besar-besaran.
Hal ini menjadi kesempatan bagi pemerintah
membuka diskusi tentang upah minimum supaya terjadi dialog pilihan kebijakan
dan mengembangkan konsensus antara serikat pekerja dan pengusaha. Setiap upaya
mengurangi ketergantungan pada upah minimum akan membuat perhatian menjadi
terfokus pada kebutuhan memperkuat ruang lingkup dan mutu perundingan bersama.
Pemutusan hubungan kerja
Sebagian besar P4D dan P4P selama ini
tersita untuk menangani perselisihan akibat PHK. Pada tahun 2001 ada 2078 kasus
yang ditangani oleh P4P dan semua kasus tersebut kecuali 84 diantaranya
menyangkut pemutusan hubungan kerja massal, sehingga terlalu banyak kasus PHK
yang individual maupun massal mengakibatkan penundaan cukup lama. Argumentasi
ketentuan PHK yang ada sekarang sangat rumit, menyita waktu, dan tidak sesuai
dengan cara kerja perekonomian modern sehingga perusahaan lebih suka
mempekerjakan karyawan untuk jangka tertentu saja atau berdasarkan kontrak
kerja.
Studi ILO mengemukakan bahwa pekerjaan
yang dilakukan oleh 60% pekerja sektor formal merupakan kombinasi dari
pekerjaan harian permanen, pekerjaan yang dibayar per satuan hasil, dan
pekerjaan kontrak lepas harian. Kontrak kerja ini tidak memberi-kan jaminan
pekerjaan maupun otorisasi dari P4D/P4P. Mayoritas pekerja manufaktur dapat
diberhentikan melalui pemberitahuan yang diberikan sehingga serikat pekerja
sangat kuatir meningkat-nya praktek mempekerjakan karyawan berdasarkan kontrak
kerja dan bentuk-bentuk lain yang tidak memberikan jaminan untuk dapat terus
bekerja.
Undang-undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun
2003 tidak memberikan ide baru yang signifikan dimana hanya menyebutkan bahwa
pengusaha harus melakukan segala upaya untuk mencegah terjadinya PHK. Apabila
segala upaya sudah dilakukan tetapi PHK tetap harus dijalankan, maka untuk
melakukan PHK tersebut harus dinegosiasikan dengan serikat pekerja atau dengan
pekerja.
Uang pesangon
Pembayaran uang pesangon menimbulkan
perbedaan pendapat antara serikat pekerja dan pengusaha sebagai-mana Keputusan
Menteri No 150 Tahun 2000 tetang Penyelesaian PHK Pembayaran Uang Pesangon,
Bonus, dan Uang Penggantian di Perusahaan, Pengusaha terutama merasa sangat
tidak puas dengan ketentuan-ketentuan mengenai pembayaran uang pesangon dan
manfaat lainnya kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau
melakukan pelanggaran berat. Kontroversi ini diikuti oleh pengusaha dengan
gigih menentang ketentuan tersebut sehingga melakukan perubahan terhadap
beberapa pasal yang dituangkan melalui Keputusan Menteri No 78 Tahun 2001 dan
Keputusan Menteri No 111 Tahun 2001. Keputusan ini memicu protes buruh
besar-besaran oleh organisasi pekerja yang berusaha melakukan tekanan supaya
Undang-undang No 150 Tahun 2000 sepenuhnya dilaksanakan. Serikat pekerja
memberi-kan argumentasi semacam tameng bagi anggota serikat pekerja karena
tidak adanya system yang memberikan tunjangan pengangguran.
Dalam situasi membingungkan akhirnya
mendorong pemerintah untuk kembali menggunakan Keputusan No 150 tahun 2000.
Dalam undang-undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 pemutusan hubungan kerja
pengusaha diwajibkan membayar pekerja tingkat tertentu uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima
dihitung berdasarkan lamanya masa kerja. Tetapi pengusaha tidak wajib memenuhi
syarat ini bila pekerja itu “ diberhentikan pada saat berakhirnya kontrak kerja
untuk jangka waktu tertentu dengan perusahaan yang bersangkutan “.
Kerja kontrak
Di sektor formal terdapat sekitar 60 %
pekerja yang dipekerjakan berdasarkan kontrak kerja yang tidak memberikan
jaminan untuk terus bekerja sehingga tidak akan memperoleh kompensasi berupa
uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja pada saat terjadinya PHK. Secara
umum, pekerja kontrak hanya dibayar untuk setiap hari masuk kerja dan tidak
berhak atas sejumlah tunjangan yang dapat diharapkan oleh pekerja tetap yang
dibayar bulanan, termasuk perlindungan dari Jamsostek. Untuk pensiun dan
asuransi kecelakaan. Dewasa ini semakin banyak perusahaan mempekerjakan
karyawan secara harian, berdasarkan kontrak untuk tertentu atau mensubkontrakan
pekerjaan ke badan pemasok tenaga kerja. Dengan latar belakang ini pertanyaan
tentang status pekerjaan sering kali diajukan oleh serikat pekerja sewaktu
negosiasi dilakukan dan hal ini dapat menjadi penyebab perselisihan.
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Jamsostek
Program jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek)
dibentuk tahun 1992 yang berupaya melindungi pekerja yang mengalami kecelakaan
kerja dan memberikan tunjangan pada saat sakit, meninggal dunia atau usia tua.
Skema ini wajib diikuti oleh setiap perusahaan yang mempekerjakan 10 pekerja
atau lebih tetapi banyak perusahaan tidak mendaftar pada Jamsostek. Selain itu
terdapat masalah yang cukup serius bagi pengusaha “yang membayar iuran kurang
dari yang semestinya“ dimana tidak membayar iuran Jamsostek untuk semua pekerja
sehingga mengakibatkan masalah ketika pekerja akan menarik dana secara umum
ketidak puasan dengan administrasi Jamsostek dan manfaat yang diberikan sering
kali muncul dan menimbulkan pembahasan kemungkinan dibuatnya undang-undang baru
tentang jaminan sosial.
Isu-isu non normatif
Dalam kaitannya dengan isu non normatif
yang paling sering dipersoalkan adalah kenaikan gaji/bonus, diikuti oleh
tunjangan makan, pembayaran insentif/ kesejahteraan, dan tunjangan
transportasi. Catatan statistik menunjukan, jumlah perselisihan mengenai
tunjangan makan dan transportasi bila digabung hampir sama banyaknya dengan
jumlah perselisihan mengenai kenaikan gaji pokok/pembayaran bonus. Selain itu,
jumlah seluruh perselisihan mengenai uang makan dan transpor, pembayaran bonus,
uang kehadiran, catering (penyediaan makanan karyawan), perawatan medis,
insentif/kesejahteraan, dan tunjangan shift lebih dari dua kali lipat jumlah
perselisihan mengenai elemen upah pokok, kenyataan ini menunjukan bahwa serikat
pekerja dan pekerja telah terbiasa dengan elemen pokok upah yang ditentukan
melalui penetapan upah minimum sehingga memfokuskan negosiasi pada
elemen-eleman lain dari paket upah.
Meskipun pembayaran-pembayaran non
normatif ini dapat menimbulkan kerumitan, pengusaha pada umumnya mempertahankan
pembayaran-pembayar an ini secara terpisah. Alasannya bermacam-macam. Mungkin
akan lebih mahal bila pembayaran tersebut disatukan dengan upah pokok digunakan
sebagai dasar perhitungan untuk upah lembur, hari libur, iuran Jamsostek, dan
lain-lain. Alasan lainnya bila pengusaha mengalami kesulitan, pembayaran
“ekstra“ ini dapat mudah dikurangi. Struktur sistem pembayaran tampaknya memang
relatif cukup rumit dan memicu banyak perselisihan. Tidak mustahil bila dimasa
yang akan datang meninjau kembali sistem pembayaran tersebut dan mencari
pilihan kemungkinan merefor-masi sistem tersebut. Untuk mendapat gambaran
tuntutan non normatif terlihat pada tabel berikut ini.
Tanggung jawab sosial perusahaan dan kode
perilaku
Sejumlah perusahaan multinasional dengan
kontraktor di Indonesia sekarang menerapkan kode perilaku (codes of conduct) atau
standar-standar lainnya terhadap kontraktor-kontraktor mereka yang beroperasi
di Indonesia. Seluruh kode perilaku yang diketahui di Indonesia berasal dari
perusahaan-perusahaan yang berbasis di Amerika atau Eropa dan banyak dari
perusahaan-perusahaan yang mempunyai kode perilaku beroperasi disektor tekstil
dan sepatu olah raga. Perusahaan-perusahaan itu memprakti-kan sejumlah cara
untuk memonitor pelaksanaan kode perilaku yang mereka tetapkan dan sering kali
mempekerjakan organisasi-organisasi setempat untuk secara berkala mengunjungi
tempat-tempat kerja guna melakukan penilaian terhadap cara-cara kode tersebut
diterapkan.
Dari berbagai studi dilaporkan bahwa
kontraktor perusahaan yang mempunyai kode praktik mempunyai ciri khas membayar
diatas upah minimum dan dapat diharapkan mematuhi undang-undang
ketenagakerjaan. Beberapa pengusaha besar yang menjalankan kode praktik juga
mengatakan bahwa kode tersebut memperkuat mekanisme kepatuhan dan bahwa mereka
dapat menunjuk pada bukti dimana kontraktor diwajibkan mengatasi
masalah-masalah yang teridentifikasi sewaktu pemantauan tempat kerja dilakukan.
Biasanya, setelah penilaian-penilaian awal dilakukan, kontraktor akan diberi
daftar berisi bidang-bidang yang perlu diperbaiki. Pemantauan yang kemudian
dilakukan sebagai upaya tindak lanjut biasanya berusaha mengukur kemajuan yang
diperoleh dan dalam beberapa hal, hasil-hasil pemantauan yang dilakukan
dipublikasikan secara internasional.
Dalam tahun-tahun terakhir ini, beberapa
perusahaan multinasional berusaha melakukan pendekatan kepada kantor ILO Jakarta .
Perusahaan-perusahaan tersebut berharap dapat bekerja sama dengan
kontraktor-kontraktor lokal mengenai isu-isu yang berkaitan dengan kode
perilaku. Kadang-kadang perusahaan-perusahaan meminta nasihat mengenai
organisasi lokal atau nara sumber yang mungkin akan mereka ajak kerja sama, dan
kadang-kadang mereka berusaha mendapatkan masukan dari ILO dan mencoba
menanggapi permintaan-permintaan itu secara praktis dan positif, dengan tetap
mengingat dinamika hubungan industrial di perusahaan yang kadang-kadang
bersifat sensitif.
P e n u t u p
Sebagaimana elemen hubungan industrial
yang mencakup kerangka hukum, peran dan sikap mitra sosial dan budaya adat dan
kebiasaan terlihat bahwa permasalahan yang berpengaruh tidak hanya yang
bersifat normatif tetapi meluas yang non normatif. Kondisi ini memerlukan
arahan kebijakan yang utuh dan terpadu guna implementasi yang dapat
dikembangkan perusahaan. Selama kebijakan yang ada hanya terarah pada
permasalahan normatif memungkinkan maraknya perselisihan hubungan industrial
yang kesinambungan. Begitu pula selama bertahun-tahun belum memiliki tingkat
yang signifikan studi yang bersifat akademis terhadap undang-undang ketenagakerjaan,
hubungan industrial atau manajemen sumber daya manusia. Terdapat kebutuhan
untuk mengembang-kan minat dikalangan lembaga-lembaga akademik untuk membangun
kebijakan yang dapat digunakan secara praktis untuk membantu pemerintah,
serikat pekerja dan pengusaha. Hal ini juga dapat mengarah pada upaya untuk
mempertemukan para praktisi secara reguler guna mengembangkan dan meningkatkan
Hubungan Industrial Indonesia.