Rabu, 16 April 2014

POKOK PERMASALAHAN DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL

1 komentar
POKOK PERMASALAHAN DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL
Oleh : Nazaruddin Siregar
 
Pendahuluan
Organisasi perburuhan Internasional– ILO mengemukakan studi pengalaman Indonesia oleh Patriek Quinn, 2003 tentang kebebasan berserikat dan perun-dingan bersama pokok permasalahan dalam Hubungan Industrial. Sistem hubungan industrial Indonesia terdiri dari sejumlah elemen yang meliputi kerangka hukum, peran dan sikap mitra sosial, dan maraknya budaya. Hal-hal ini meliputi kerangka hukum, peran dan sikap mitra sosial, dan budaya “ adat kebiasaan dan praktik “ yang umum di masyarakat – yaitu bagaimana kebiasaan yang berlaku dalam menangani hubungan industrial dan isu-isu mana yang lazimnya menjadi pokok perundingan antara pekerja dan pengusaha. Bagian ini mengkaji beberapa isu penting dalamdiskusi hubungan industrial, kecenderungan-kecenderungan dalam perselisihan industrial, isu-isu yang menyebabkan atau memicu perselisihan, dan langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk meningkatkan hubungan industrial.
Faktor pengaruh hubungan industrial.
Sistem remunerasi atau pemberian imbalan suatu perusahaan memberikan pengaruh kuat hubungan industrial. Komponen upah buruh biasanya terdiri dari upah pokok dan berbagai tunjangan dikurangi sejumlah potongan. Komponen upah buruh dapat meliputi komponen-komponen yang ditunjukan dalam Tabel 1. Faktor yang mempengaruhi adalah jaminan untuk dapat terus bekerja, apakah status pekerjaan lemah atau wajar cukup aman. Sering kali tingkat imbalan tunjangan dikaitkan dengan status pekerjaan. Buruh dewasa ini dipekerjakan berdasarkan kontrak, tidak menjamin kelangsungan pekerjaan.
Dalam perusahaan umumnya mengguna-kan empat sistem pembayaran yang berbeda : status sebagai pekerja harian lepas, status sebagai pekerja dengan upah per potong/satuan hasil atau status sebagai pekerja kontrak, status sebagai pekerja tetap harian, dan status sebagai pekerja tetap. Dari katagori tersebut hanya status sebagai pekerja tetap yang memberikan jaminan kerja yang secara hukum bersifat mengikat. Dari temuan diketahui bahwa dua pertiga dari buruh tersebut dipekerjakan berdasarkan kontrak kerja yang tidak memberikan kepastian untuk dapat terus bekerja, yang menyebabkan mereka dapat dengan mudah diberhentikan, dan banyak pekerja tidak menerima upah kalau sakit atau tidak masuk karena alasan apapun.
Perspektif hubungan industrial, hubungan kerja mempunyai dua elemen yang diharapkan mengarah pada situasi tawar-menawar yang rumit. Elemen pertama adalah system imbalan yang relatif kompleks, dengan banyak variable tunjangan, yang masing-masing mempunyai potensi menjadi sumber perselisihan. Elemen yang kedua adalah banyaknya pekerja berdasarkan kontrak kerja yang tidak memberikan kepastian untuk dapat terus bekerja.
Tabel 1-Komponen-komponen upah pekerja di perusahaan besar
Upah tetap
Upah pokok (biasanya dikaitkan dengan upah minimum)
Tunjangan keluarga
Tunjangan masa kerja
Berbagai tunjangan
Tunjangan makan
Tunjangan transportasi
Tunjangan kesehatan
Tunjangan pendidikan
Bonus prestasi
Insentif untuk pekerjaan per satuan hasil
Tunjangan kerja shift
Tunjangan tugas khusus
Tunjangan kopi
Lembur hari kerja
Lembur hari Minggu
Lembur hari Libur
Potongan-potongan
Jamsostek
Pajak penghasilan
Iuran serikat pekerja
 
Masalah normatif dan non-normatif
Masalah normatif yang ditetapkan undang-undang sebagai standar upah minimum dan libur tahunan dan standar lain yang disepakati, yang terutama dalam perjanjian kerja bersama. Masalah non normatif menyangkut yang tidak memiliki standar hukum secara langsung atau yang berkaitan dengan upaya mem-perbaiki ketentuan dalam standar yang telah ditetapkan. Tabel 2 menunjukan proporsi perselisihan yang melibatkan tuntutan normatif dan tuntutan non normatif. Kurang lebih dua pertiga perselisihan yang terjadi menyangkut hal-hal non normatif. Tabel 3 menunjukan frekuensi perselisihan mengenai berbagai masalah normatif. Masalah normatif yang sering dipersoalkan menyangkut pelaksanaan upah minimum, pemecatan, cuti, Jamsostek dan pembayaran upah lembur.

Upah minimum
Upah minimum di Indonesia diperkenalkan tahun 1996, peran upah minimum semakin penting. Hingga tahun 2000, tingkat upah minimum ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja untuk tiap propinsi di Indonesia . Dengan diberlakukannya otonomi daerah, mulai tahun 2000 tanggung jawab menetapkan upah minimum terletak di pundak pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten.
Untuk menetapkan upah minimum, dibentuk dewan pengupah yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah setempat, kantor dinas propinsi dari unit terkait serikat pekerja, pengusaha, dan akademisi. Dewan berfungsi melakukan survei dan menghitung biaya pokok kebutuhan hidup. Survei tersebut mengkaji harga dari sejumlah bahan pokok di daerah sekitarnya, menghitung kemampuan perusahaan dalam membayar kenaikan upah minimum dan mengusulkan angka untuk upah minimum dengan memper-timbangkan informasi yang diperoleh, biaya inflasi dan faktor-faktor lainnya.
Proposal untuk menyesuaikan upah minimum diajukan kepada gubernur atau bupati setempat untuk mendapatkan otorisasi atau pengesahan. Upah minimum biasanya ditetapkan untuk jangka waktu dua belas bulan dan ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup minimum seorang pekerja lajang. Selain itu juga terdapat upah-upah minimum untuk sektor lapangan kerja tertentu. Pengusaha yang merasa tidak sanggup membayar upah minimum dapat meminta dispensasi untuk kemudian menyelidiki situasi keuangan perusahaan tersebut sebelum mengambil suatu keputusan.
Perdebatan tentang proses upah minimum kemungkinan akan berlanjut terutama penting akibat tidak adanya kapasitas kelembagaan yang mendukung perundingan bersama. Beberapa berpen-dapat bahwa ketika organisasi serikat pekerja memperoleh kekuatan dan lebih terlibat dalam negosiasi tingkat upah ditingkat perusahaan dan industri, peran pemerintah semestinya sudah tidak diperlukan lagi.
Namun jelas bahwa pekerja masih belum terlindungi oleh perundingan bersama yang efektif. Karena itu, upah minimum tetap penting dan setiap perubahan radikal terhadap struktur upah minimum cenderung memicu perlawanan secara besar-besaran.
Hal ini menjadi kesempatan bagi pemerintah membuka diskusi tentang upah minimum supaya terjadi dialog pilihan kebijakan dan mengembangkan konsensus antara serikat pekerja dan pengusaha. Setiap upaya mengurangi ketergantungan pada upah minimum akan membuat perhatian menjadi terfokus pada kebutuhan memperkuat ruang lingkup dan mutu perundingan bersama.
 
Pemutusan hubungan kerja
Sebagian besar P4D dan P4P selama ini tersita untuk menangani perselisihan akibat PHK. Pada tahun 2001 ada 2078 kasus yang ditangani oleh P4P dan semua kasus tersebut kecuali 84 diantaranya menyangkut pemutusan hubungan kerja massal, sehingga terlalu banyak kasus PHK yang individual maupun massal mengakibatkan penundaan cukup lama. Argumentasi ketentuan PHK yang ada sekarang sangat rumit, menyita waktu, dan tidak sesuai dengan cara kerja perekonomian modern sehingga perusahaan lebih suka mempekerjakan karyawan untuk jangka tertentu saja atau berdasarkan kontrak kerja.
Studi ILO mengemukakan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh 60% pekerja sektor formal merupakan kombinasi dari pekerjaan harian permanen, pekerjaan yang dibayar per satuan hasil, dan pekerjaan kontrak lepas harian. Kontrak kerja ini tidak memberi-kan jaminan pekerjaan maupun otorisasi dari P4D/P4P. Mayoritas pekerja manufaktur dapat diberhentikan melalui pemberitahuan yang diberikan sehingga serikat pekerja sangat kuatir meningkat-nya praktek mempekerjakan karyawan berdasarkan kontrak kerja dan bentuk-bentuk lain yang tidak memberikan jaminan untuk dapat terus bekerja.
Undang-undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 tidak memberikan ide baru yang signifikan dimana hanya menyebutkan bahwa pengusaha harus melakukan segala upaya untuk mencegah terjadinya PHK. Apabila segala upaya sudah dilakukan tetapi PHK tetap harus dijalankan, maka untuk melakukan PHK tersebut harus dinegosiasikan dengan serikat pekerja atau dengan pekerja.
 
Uang pesangon
Pembayaran uang pesangon menimbulkan perbedaan pendapat antara serikat pekerja dan pengusaha sebagai-mana Keputusan Menteri No 150 Tahun 2000 tetang Penyelesaian PHK Pembayaran Uang Pesangon, Bonus, dan Uang Penggantian di Perusahaan, Pengusaha terutama merasa sangat tidak puas dengan ketentuan-ketentuan mengenai pembayaran uang pesangon dan manfaat lainnya kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau melakukan pelanggaran berat. Kontroversi ini diikuti oleh pengusaha dengan gigih menentang ketentuan tersebut sehingga melakukan perubahan terhadap beberapa pasal yang dituangkan melalui Keputusan Menteri No 78 Tahun 2001 dan Keputusan Menteri No 111 Tahun 2001. Keputusan ini memicu protes buruh besar-besaran oleh organisasi pekerja yang berusaha melakukan tekanan supaya Undang-undang No 150 Tahun 2000 sepenuhnya dilaksanakan. Serikat pekerja memberi-kan argumentasi semacam tameng bagi anggota serikat pekerja karena tidak adanya system yang memberikan tunjangan pengangguran.
Dalam situasi membingungkan akhirnya mendorong pemerintah untuk kembali menggunakan Keputusan No 150 tahun 2000. Dalam undang-undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 pemutusan hubungan kerja pengusaha diwajibkan membayar pekerja tingkat tertentu uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima dihitung berdasarkan lamanya masa kerja. Tetapi pengusaha tidak wajib memenuhi syarat ini bila pekerja itu “ diberhentikan pada saat berakhirnya kontrak kerja untuk jangka waktu tertentu dengan perusahaan yang bersangkutan “.
 
Kerja kontrak
Di sektor formal terdapat sekitar 60 % pekerja yang dipekerjakan berdasarkan kontrak kerja yang tidak memberikan jaminan untuk terus bekerja sehingga tidak akan memperoleh kompensasi berupa uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja pada saat terjadinya PHK. Secara umum, pekerja kontrak hanya dibayar untuk setiap hari masuk kerja dan tidak berhak atas sejumlah tunjangan yang dapat diharapkan oleh pekerja tetap yang dibayar bulanan, termasuk perlindungan dari Jamsostek. Untuk pensiun dan asuransi kecelakaan. Dewasa ini semakin banyak perusahaan mempekerjakan karyawan secara harian, berdasarkan kontrak untuk tertentu atau mensubkontrakan pekerjaan ke badan pemasok tenaga kerja. Dengan latar belakang ini pertanyaan tentang status pekerjaan sering kali diajukan oleh serikat pekerja sewaktu negosiasi dilakukan dan hal ini dapat menjadi penyebab perselisihan.
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Jamsostek
Program jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) dibentuk tahun 1992 yang berupaya melindungi pekerja yang mengalami kecelakaan kerja dan memberikan tunjangan pada saat sakit, meninggal dunia atau usia tua. Skema ini wajib diikuti oleh setiap perusahaan yang mempekerjakan 10 pekerja atau lebih tetapi banyak perusahaan tidak mendaftar pada Jamsostek. Selain itu terdapat masalah yang cukup serius bagi pengusaha “yang membayar iuran kurang dari yang semestinya“ dimana tidak membayar iuran Jamsostek untuk semua pekerja sehingga mengakibatkan masalah ketika pekerja akan menarik dana secara umum ketidak puasan dengan administrasi Jamsostek dan manfaat yang diberikan sering kali muncul dan menimbulkan pembahasan kemungkinan dibuatnya undang-undang baru tentang jaminan sosial.
Isu-isu non normatif
Dalam kaitannya dengan isu non normatif yang paling sering dipersoalkan adalah kenaikan gaji/bonus, diikuti oleh tunjangan makan, pembayaran insentif/ kesejahteraan, dan tunjangan transportasi. Catatan statistik menunjukan, jumlah perselisihan mengenai tunjangan makan dan transportasi bila digabung hampir sama banyaknya dengan jumlah perselisihan mengenai kenaikan gaji pokok/pembayaran bonus. Selain itu, jumlah seluruh perselisihan mengenai uang makan dan transpor, pembayaran bonus, uang kehadiran, catering (penyediaan makanan karyawan), perawatan medis, insentif/kesejahteraan, dan tunjangan shift lebih dari dua kali lipat jumlah perselisihan mengenai elemen upah pokok, kenyataan ini menunjukan bahwa serikat pekerja dan pekerja telah terbiasa dengan elemen pokok upah yang ditentukan melalui penetapan upah minimum sehingga memfokuskan negosiasi pada elemen-eleman lain dari paket upah.
Meskipun pembayaran-pembayaran non normatif ini dapat menimbulkan kerumitan, pengusaha pada umumnya mempertahankan pembayaran-pembayar an ini secara terpisah. Alasannya bermacam-macam. Mungkin akan lebih mahal bila pembayaran tersebut disatukan dengan upah pokok digunakan sebagai dasar perhitungan untuk upah lembur, hari libur, iuran Jamsostek, dan lain-lain. Alasan lainnya bila pengusaha mengalami kesulitan, pembayaran “ekstra“ ini dapat mudah dikurangi. Struktur sistem pembayaran tampaknya memang relatif cukup rumit dan memicu banyak perselisihan. Tidak mustahil bila dimasa yang akan datang meninjau kembali sistem pembayaran tersebut dan mencari pilihan kemungkinan merefor-masi sistem tersebut. Untuk mendapat gambaran tuntutan non normatif terlihat pada tabel berikut ini.

Tanggung jawab sosial perusahaan dan kode perilaku
Sejumlah perusahaan multinasional dengan kontraktor di Indonesia sekarang menerapkan kode perilaku (codes of conduct) atau standar-standar lainnya terhadap kontraktor-kontraktor mereka yang beroperasi di Indonesia. Seluruh kode perilaku yang diketahui di Indonesia berasal dari perusahaan-perusahaan yang berbasis di Amerika atau Eropa dan banyak dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai kode perilaku beroperasi disektor tekstil dan sepatu olah raga. Perusahaan-perusahaan itu memprakti-kan sejumlah cara untuk memonitor pelaksanaan kode perilaku yang mereka tetapkan dan sering kali mempekerjakan organisasi-organisasi setempat untuk secara berkala mengunjungi tempat-tempat kerja guna melakukan penilaian terhadap cara-cara kode tersebut diterapkan.
Dari berbagai studi dilaporkan bahwa kontraktor perusahaan yang mempunyai kode praktik mempunyai ciri khas membayar diatas upah minimum dan dapat diharapkan mematuhi undang-undang ketenagakerjaan. Beberapa pengusaha besar yang menjalankan kode praktik juga mengatakan bahwa kode tersebut memperkuat mekanisme kepatuhan dan bahwa mereka dapat menunjuk pada bukti dimana kontraktor diwajibkan mengatasi masalah-masalah yang teridentifikasi sewaktu pemantauan tempat kerja dilakukan. Biasanya, setelah penilaian-penilaian awal dilakukan, kontraktor akan diberi daftar berisi bidang-bidang yang perlu diperbaiki. Pemantauan yang kemudian dilakukan sebagai upaya tindak lanjut biasanya berusaha mengukur kemajuan yang diperoleh dan dalam beberapa hal, hasil-hasil pemantauan yang dilakukan dipublikasikan secara internasional.
Dalam tahun-tahun terakhir ini, beberapa perusahaan multinasional berusaha melakukan pendekatan kepada kantor ILO Jakarta. Perusahaan-perusahaan tersebut berharap dapat bekerja sama dengan kontraktor-kontraktor lokal mengenai isu-isu yang berkaitan dengan kode perilaku. Kadang-kadang perusahaan-perusahaan meminta nasihat mengenai organisasi lokal atau nara sumber yang mungkin akan mereka ajak kerja sama, dan kadang-kadang mereka berusaha mendapatkan masukan dari ILO dan mencoba menanggapi permintaan-permintaan itu secara praktis dan positif, dengan tetap mengingat dinamika hubungan industrial di perusahaan yang kadang-kadang bersifat sensitif.
 
P e n u t u p
Sebagaimana elemen hubungan industrial yang mencakup kerangka hukum, peran dan sikap mitra sosial dan budaya adat dan kebiasaan terlihat bahwa permasalahan yang berpengaruh tidak hanya yang bersifat normatif tetapi meluas yang non normatif. Kondisi ini memerlukan arahan kebijakan yang utuh dan terpadu guna implementasi yang dapat dikembangkan perusahaan. Selama kebijakan yang ada hanya terarah pada permasalahan normatif memungkinkan maraknya perselisihan hubungan industrial yang kesinambungan. Begitu pula selama bertahun-tahun belum memiliki tingkat yang signifikan studi yang bersifat akademis terhadap undang-undang ketenagakerjaan, hubungan industrial atau manajemen sumber daya manusia. Terdapat kebutuhan untuk mengembang-kan minat dikalangan lembaga-lembaga akademik untuk membangun kebijakan yang dapat digunakan secara praktis untuk membantu pemerintah, serikat pekerja dan pengusaha. Hal ini juga dapat mengarah pada upaya untuk mempertemukan para praktisi secara reguler guna mengembangkan dan meningkatkan Hubungan Industrial Indonesia.


Read more...

Jumat, 11 April 2014

Mengenal Hukum Perburuhan / Hak2 Normative Buruh

0 komentar

Mengenal Hukum Perburuhan/Hak2 Normative Buruh
Oleh : RZQ ( pengurus FPBI wilayah Yogyakarta )

Hukum perburuhan secara umum bisa dipahami hukum yang dibuat untuk mengatur hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerjanya. Dari hal mengenai produksinya, hubungan kerjanya, sampai dengan hak dan kewajiban kedua pihak.
Pada dasarnya, ada dua pihak yang memiliki kepentingan besar dalam hukum perburuhan, yaitu buruh dan pengusaha :
-       Kepentingan buruh dalam hukum perburuhan adalah mengenai perlindungan hak2nya setelah ia memenuhi kewajiban kerjanya, seperti upahnya, perlindungan keselamatan kerja, status kerja, liburan, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak asasinya
-       Kepentingan pengusaha dalam hukum perburuhan adalah mengenai bagaimana caranya pengusaha melindungi produksinya, keuntungannya, dan jalannya produksi yang lancar dan aman dari gangguan tuntutan buruh. juga yang menjadi kepentingan pengusaha adalah bagaimana caranya agar pengusaha tidak mengeluarkan kewajiban yang besar yang dapat merugikannya.
Dari dua kepentingan itu, siapa yang paling terlindungi kepentingannya??? Yang pastinya adalah siapa yang memiliki kekuatan paling besar. Sudah pasti pengusaha dengan kekuatan modalnya dapat terlindungi kepentingannya dengan menguasai struktur hukum dan politiknya.
Hak dan Kepentingan Buruh dalam Perundang2an disebut  Hak Normative, dimana dalam Logika Hukumnya tanpa diminta pun Pengusaha diwajibkan untuk memberikan segala Hak2 Normative Buruh yang sudah diatur dalam perundang2an.
Untuk mempermudahnnya Hak Normative tersebut dibagi menjadi 4 kategori :
1.    Hak bersifat ekonomis ; misalnya upah, Tunjangan Hari Raya, Tunjangan hari tua fasilitas perumahan dll.
2.    Hak bersifat politis ; misalnya hak membentuk serikat buruh, hak menjadi atau tidak menjadi anggota serikat buruh, hak mogok, hak tidak diskriminatif, dll
3.    Hak bersifat medis ; misalnya hak atas keselamatan dan kesehatan kerja, hak melahirkan, hak istirahat, hak menyusui anak, hak atas jaminan pemeliharaan kerja, larangan mempekerjakan anak, dll
4.    Hak bersifat sosial ; misalnya hak cuti kawin, libur resmi, pembatasan pekerjaan anak dan perempuan pada malam hari, dll

Dan Hak2 tersebut tertuang dalam UUD “45”, UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003, UU Serikat Pekerja No.21 tahun 2000, UU JamSosTek No.3 tahun 1992, UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial No. 2 tahun 2004, Konvensi ILO, PerMen/KepMen, dan peraturan2 lainnya.

Tentang Upah : Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
Pasal 88 :
     ayat (1) menyatakan : Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
     ayat (2) menyatakan : Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh;
      ayat (3) menyatakan : Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a)     upah minimum;
b)     upah kerja lembur;
c)     upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d)     upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e)     upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f)      bentuk dan cara pembayaran upah
g)     denda dan potongan upah;
h)     hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i)      struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j)      upah untuk pembayaran pesangon; dan
k)     upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
     ayat (4) menyatakan : Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89 :
     ayat (1) menyatakan : Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas :
a)     upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b)     upah minimum berdasrakan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
c)     upah miminum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
      ayat (2)  menyatakan : Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Pasal 90 :
     ayat (1) menyatakan : Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
Sanksi diatur dalam  Pasal 185 :
     ayat (1) menyatakan : Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah);
     ayat (2) menyatakan : Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Tentang Waktu/Jam Kerja Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
Pasal 77  :
     ayat (1) menyatakan : Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
     ayat (2) menyatakan : Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a)    7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b)    8(delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Pasal 78 :
     ayat (1) menyatakan : Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a)     ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b)     waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
     ayat (2) menyatakan : Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
     ayat (3) menyatakan : Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
Pasal 85 :
     ayat (1) menyatakan : Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
     ayat (2) menyatakan : Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
     ayat (3) menyatakan : Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.
Sanksi diatur dalam Pasal 187 :
     ayat (1) menyatakan : Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dan Pasal 85 ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
     ayat (2) menyatakan : Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Sanksi diatur dalam Pasal 188 :
     ayat (1) menyatakan : Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1), dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
     ayat (2) menyatakan :Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Tentang Hubungan Kerja Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
Pasal 60 :
     ayat (1) Menyatakan : Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
     Ayat (2) menyatakan : Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Tentang Hubungan Kerja (OutSourcing) Dalam PerMenNaKer No. 19 tahun 2012
Pasal 3 :
Ø  ayat (1) Menyatakan : Perusahaan pemberi kerja dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima borongan,
Ø  ayat (2) Menyatakan : Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.    Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan.
b.    Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemberi pekerjaan.
c.    Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan kegiatan utama sesuai dengan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha yang dibentuk sesuai perundang-undangan; dan
d.    Tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Pasal 17 : Persyaratan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh
Ø  Ayat (1) menyatakan : perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melalui perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Ø  Ayat (2) menyatakan : pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Ø  Ayat (3) menyatakan : kegiatan jasa penunjang yang sebagaimana dimaksud ayat (2) meliputi :
a.    Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service).
b.    Usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering).
c.    Usaha tenaga pengamanan (security/satuan pengamanan).
d.    Usaha jasa penunjang dipertambangan dan perminyakan; dan
e.    Usaha penyedia angkutan bagi pekerja/buruh.

Tentang Serikat Pekerja/Buruh Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.
Pasal 28 :
Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara :
a)     melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b)     tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c)     melakukan intimidasi dalam bentuk apapun ;
d)     melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.
Sanksi diatur dalam Pasal 43 :
     ayat (1) menyatakan : Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
     ayat (2) menyatakan : Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Dan masih banyak lagi hal lainnya yang berhubungan dengan hak-hak pekerja/buruh yang diatur dalam Undang-Undang yang berlaku.
Ketika  kita telah membaca uraian diatas apakah hak-hak kita sebagai pekerja/buruh telah seluruhnya diberikan oleh pengusaha ??? Jawabannya jelas belum, karena mayoritas pekerja/buruh di negeri kita masih buta Hukum/Undang-Undang yang melindungi hak-hak kita sebagai pekerja.
Melihat dari minimnya pemahaman Hukum/Undang-Undang pada pekerja/buruh dan banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pengusaha terhadap pekerja/buruh, ini menjadi satu peluang bagi kita sesama pekerja/buruh untuk membentuk sekolah-sekolah pekerja/buruh agar pekerja/buruh dapat memahami apa saja yang menjadi hak-haknya dalam Hukum/Undang-Undang dengan mempersatukan diri dan membangun organisasi/serikat pekerja/buruh yang besar, kuat, dan solid dimana berfungsi untuk memperjuangkan hak-hak seluruh pekerja/buruh.
Kenapa pekerja/buruh harus berserikat ??? Karena, penindasan/perilaku sewenang-wenang pengusahalah yang membuat kita pekerja/buruh harus beroganisasi/berserikat, penindasan yang dilakukan oleh pengusaha tidaklah mungkin dihadapi secara sendiri-sendiri oleh pekerja/buruh, karena posisinya pasti tidak seimbang. Tetapi kalau pekerja/buruh berorganisasi/berserikat posisinya akan semakin kuat dan solid, ibaratnya sapu lidi jika satu batang akan sangat mudah dipatahkan, tetapi jika jumlahnya banyak dan terikat secara rapih, lidi tersebut tidak akan mudah dipatahkan. Dan berorganisasi/berserikat diizinkan oleh negara, bahkan telah diatur dalam Undang-Undang yang ada didalam negeri ini, baik itu UUD 1945 pasal 28, UUK 13 Tahun 2003, maupun dalam Undang-Undang tentang kebebasan berorganisasi/berserikat bagi pekerja/buruh dalam UU 21 Tahun 2000.

Selamat Membaca….. !!!




Bersatu, Belajar, Berjuang bersama-sama untuk Sejahtera
Rakyat Bersatu, Tak Bisa DIKALAHKAN !!!
Buruh Berkuasa, Rakyat Sejahtera !!!
*****



Read more...

FPBI

FPBI