Jumat, 09 Mei 2014

MARSINAH

0 komentar
Barangkali tidak ada kasus kematian seorang pekerja rendahan, yang menyedot perhatian luar biasa, kecuali kasus Marsinah. Kasus relatif serupa semenjak Marsinah, seperti Titi Sugiarti pekerja pabrik tekstil di Bandung, Rusli buruh pabrik pengolahan karet di Medan, atau Sikri bin Yakub buruh perkebunan di Palembang, kurang mendapat atensi masyarakat. Malah kematian misterius Petrus Tomae, pekerja asal Timtim di pabrik semen di Bogor, nyaris dilupakan orang.
Mungkin kasus Marsinah, selain pertama kali terjadi, memiliki kelebihan khusus. Kasus Marsinah secara kasat mata bukan perkara kriminal biasa. Kasus ini berlatar belakang unjuk rasa di pabrik arloji (PT CPS) tempat bekerja Marsinah, menuntut perbaikan upah dan kondisi kerja. Sebelum jasad Marsinah ditemukan tergolek mengenaskan di pinggir hutan jati Wilangan di Nganjuk, almarhum tampil gigih memperjuangkan 13 rekan sekerjanya yang di-PHK di kantor Kodim Sidoarjo seusai unjuk rasa.

Kasus itu sebenarnya tidak akan sedramatis kemudian, kalau sejak dini aparat kepolisian sigap menyeret pelakunya. Tapi cerita bergulir menjadi sebuah seri telenovela, ketika motif pembunuhan itu dibumbui isu cinta segitiga, perebutan warisan, dan perkosaan, yang kemudian tidak bisa dibuktikan.

Kisahnya kian dramatis di mata publik, ketika pengusutan kasus itu harus ditangani dari pusat, yang disusul dengan menghilangnya pemilik dan staf manajemen PT CPS dan kemudian diseret ke pengadilan. Proses penyeretan sembilan terdakwa itu tidak kurang mencekamnya. Hingga di situ motif pembunuhan ganti haluan, yakni Marsinah dibunuh karena mengancam membocorkan kegiatan ilegal perusahaan memalsu arloji merek terkenal. Motif ini entah dari mana hulunya, karena seperti dinyatakan polisi ketika PT CPS digrebek aparat Polresta Surabaya Utara tidak terbukti ada pemalsuan produk, malahan perusahaan ini dipercaya mengerjakan order dari beberapa instansi militer.

Episode kedua
Layar tragedi Marsinah memasuki episode berikutnya. Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu memutus bebas murni atas sembilan terdakwa kasus Marsinah. Putusan itu menguak pertanyaan laten, siapa algojo Marsinah sesungguhnya? Lantas, siapa dan apa kepentingan merekayasa skenario peristiwa itu, sehingga menyeret algojo yang keliru? Barangkali di sekitar pertanyaan inilah sisi menarik sekaligus ruwet dari pengusutan dan pengadilan tragedi Marsinah selanjutnya.

Penyelesaian kasus Marsinah semestinya dimulai dengan memahami konteks ekonomi-politik di sekitar dunia perburuhan. Dalam pengusutan hingga pengadilan yang lalu, kasus Marsinah dipreteli dari konteks tersebut, sehingga kasus ini sulit ditemukan motif pembunuhannya yang pas.

Nampaknya ada sesuatu yang mesti disembunyikan dari sorotan masyarakat, maka kasus Marsinah diciutkan sebagai peristiwa yang lepas dari konteks aksi mogok sebelumnya. Sebagian pihak menerka, penciutan itu didasari oleh rasa kekhawatiran akan terbukanya kekerasan politik kontrol buruh yang dipraktekkan sejauh ini, dan pihak-pihak tertentu yang akan tercoreng konduitenya. Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi, kalau kita mau menarik pelajaran berharga dari kasus ini, untuk perbaikan di masa depan.

SIS
Suatu pemogokan buruh menuntut kesejahteraan yang lebih baik, dalam jangka panjang akan mengganggu basis material industri nasional.

Ketika terjadi mogok kerja atau unjuk rasa buruh di perusahaan, lazimnya pihak manajemen mengundang aparat keamanan dan Depnaker untuk menertibkannya. Seusai mogok, sejumlah buruh yang dituding sebagai dalang pemogokan, acap diundang ke markas keamanan. Di situ, mereka bila perlu menandatangani formulir pengunduran diri dari tempat kerjanya. Standar pengendalian demikian, diterapkan persis dalam menangani pemogokan di PT CPS, yang disusul dengan kematian Marsinah.

Di mata buruh, koordinasi pengusaha dengan aparat keamanan tidak sekadar memberikan respons represif ketika terjadi mogok kerja. Tapi aparat operatif keamanan juga patroli di perkampungan buruh bekerja sama dengan aparat kelurahan, ketua RT/RW dan pemilik bedeng kontrakan para buruh. Aparat keamanan serta jajaran Muspika atau Muspida lainnya, telah biasa ikut nimbrung dalam perundingan antara wakil buruh dan majikan.

Di setiap wilayah industri seperti memiliki keragaman implementasi politik kontrol buruh. Di Sidoarjo, kontrol terhadap buruh secara integral dikoordinasikan lewat institusi SIS (Sistem Intelijen Sidoarjo). Kehadiran lembaga ini diungkap pejabat Depnaker setempat di depan pengadilan kasus buruh PT Maspion, Oktober 1993. Disebutkan, kalau terjadi kasus perselisihan perburuhan, pihak Depnaker tidak bisa langsung menangani masalah sendirian, tapi harus melibatkan aparat keamanan.

Pengerasan kontrol
Operasi keamanan industrial demikian, jelas memerlukan biaya operasional yang tidak sedikit. Sumber biaya itu boleh jadi berasal dari anggaran resmi. Tapi tidak salah bila pengusaha turut memberikan semacam tip jasa keamanan kepada petugas pelaksana. Karena bagaimana pun, di tangan aparat pelaksana inilah fungsi kontrol sesungguhnya berjalan. Karena itu wajar jika di dalam struktur biaya produksi industri, dikenal biaya siluman (invisible cost). Perkiraan peneliti, biaya siluman itu mencapai angka sekitar 30 persen dari ongkos produksi, melebihi alokasi upah buruh yang hanya delapan hingga sebelas persen.

Jadi bisa dimengerti, pemogokan buruh yang tidak terkendali dalam jangka panjang dapat berakibat pada terganggunya koordinasi dan kepentingan ekonomi aparat pengendali buruh. Maka wajar saja, setiap aksi buruh menuntut perbaikan kesejahteraan selalu dihadapi dengan keras.

Dalam empat tahun terkhir ini, pemogokan dan unjuk rasa buruh tak dapat dibendung, dan tidak ada tanda-tanda akan segera menurun. Tahun 1990 angka pemogokan buruh sekitar 61 kasus, sementara dalam tahun 1994 sudah mencapai lebih dari 1.300 kali (The Jakarta Post, 29 Januari 1995). Artinya, realitas politik dan kepentingan aparat kontrol buruh betul-betul tengah menghadapi resistensi rasional dari kalangan pekerja. Dikatakan demikian, sebab aksi-aksi buruh itu jelas bukan suatu fenomena yang terjadi di luar bekerjanya sistem kontrol tadi.

Ada dua alternatif pilihan, bila suatu pendekatan koersif sudah tidak efektif lagi mendisiplinkan buruh. Yaitu, mengganti kerangka itu dengan pendekatan kesejahteraan. Logikanya, kalau kondisi mikro sosio-ekonomi buruh yang menjadi faktor pemicu gelombang pemogokan buruh sejauh ini dicukupi, niscaya pemogokan itu hingga tingkat tertentu bisa direm.

Atau, terus melanjutkan kerangka semula. Tapi itu hanya bisa dilakukan dengan jalan mereproduksi institusi kontrol baru dan menambah dosis kekerasan hingga melebihi batas imun. Konsekuensinya kerangka ini akan berhadapan dengan gerakan universal penghormatan hak asasi manusia, suatu kekuatan yang tidak bisa dibendung pula. Apalagi masalah perburuhan memiliki dimensi internasional yang dapat mempengaruhi ekspor Indonesia.

Kiranya realitas yang terjadi sekarang, nampak pola terakhir inilah yang cenderung diterapkan, di tengah kebingungan aparat kontrol buruh merumuskan alternatif kontrol lain. Dalam konteks perkembangan politik kontrol buruh demikian, kasus Marsinah bisa dimaklumi.(Teten Masduki, Kepala Divisi Perburuhan Yayasan LBH Indonesia (YLBHI))


buruh PT Catur Putra Surya


Read more...

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU NO. 2 TAHUN 2004)

1 komentar


Penyelesaian perselisihan hubngan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. (Psl 136 UU/13/2003 ayat 1).
Bila penyelesaian melalui musyawarah mufakat tidak tercapai maka pengusaha dan pekerja/buruh menyelesaikan PPHI melalui prosedur PPHI yang diatur UU. (Psl 136 UU/13/2003 ayat 2).
Perselisihan hubungan industri adalah : perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, PHK, perselisihan antara serikat buruh dalam satu perusahaan.

A.     Macam-macam Perselisihan.
Dalam UU. No. 2 Tahun 2004 yang mulai berlaku 14 Januari 2006 disebutkan bahwa terdapat 4 macam perselisihan. Macam-macam perselisihan tersebut adalah :
  1. Perselisihan hak.
Perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (Pasal 2 UU/2/2004). Dalam penjelasannya disebutkan bahwa perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif, yang sudah ditetapkan dalam Perjanjian kerja, PP, PKB atau peraturan perundang-undangan.
  1. Perselisihan Kepentingan.
Perselisihan yang timbul adalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yangd itetapkan dalam Perjanjian kerja, atau PP, atau PKB. (Psl. 1 ayat 3 UU/2/2004).
  1. Perselisihan PHK.
Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak (Psl. 1 ayat 4 UU/2/2004).
  1. Perselisihan antar serikat buruh.
Perselisihan antar serikat buruh dengan serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatan pekerjaan.

B.     Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI).
Dalam UU/2/2004 disebutkan terdapat 4 lembaga yang bisa menyelesaikan PHI, dimana masing-masing lembaga mempunyai kewenangan dan batasan dalam menyelesaikan 4 macam perselisihan dalam PHI. Ke-4 lembaga tersebut adalah :
  1. Mediasi.
Penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih oleh mediator yang netral (yang dimaksud mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan “pegawai disnaker”). PHI yang bisa diselesaikan melalui mediasi adalah :
  1. Perselisihan hak.
  2. Perselisihan kepentingan.
  3. PHK.
  4. Perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.
Mediator setelah perundingan mengeluarkan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih.(pasal 1 ayat 12 dan 13 UU/2/2004).
  1. Konsiliasi.
Penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang konsiliator yang memenuhi syarat-syarat konsiliator yang ditetapkan oleh menteri. Perselisihan yang bisa diselesaikan melalui konsiliasi adalah :
  1. Perselisihan kepentingan.
  2. PHK.
  3. Perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.
Konsilitor setelah perundingan memberikan anjuran tertulis kepada pihak yang berselisih. (pasal 1 ayat 14 dan 15 UU/2/2004).
  1. Arbitrase.
Merupakan perselisihan yang diselesaikan diluar pengadilan hubungan industrial yang dapat ditempuh melalui kesepakatan tertulis yang isinya bahwa para pihak yang berselisih bersepakat untuk menyerahkan perselisihan kepada arbitater. Arbitrase dipimpimpin oleh arbiter yang dapat ditunjuk oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri. Keputusan arbitater adalah mengikat para pihak yang berselisih dan bersifat final. Perselisihan yang bisa diselesaikan melalui arbitrase adalah : (Pasal 1 ayat 16 dan 17 UU/2/2004).
  1. Perselisihan kepentingan.
  2. Perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.
  1. Pengadilan Hubungan Industrial.
Merupakan penyelesaian perselisihan melalui pengadilan yang memakai hukum acara perdata. Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan peradilan negeri.

C.     Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

  1. Penyelesaian Bipartit. (bila dalam perusahaan belum ada LKS bipartit).
LKS bipartit merupakan sebuah lembaga yang berada dilingkungan pabrik. Lembaga ini beranggotakan pengusaha dan buruh Keanggotaan LKS Bipartit ditetapkan dari unsur pengusaha  dan unsur pekerja/buruh dengan komposisi perbandingan 1 : 1 yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan dengan ketentuan paling sedikit 6 (enam) orang dan paling banyak 20 (dua puluh) orang. Psl 9 Kepmen/255/2003. Lembaga ini minimal dipimpin oleh seorang ketua, sekertaris dan anggota dengan jabatan ketua diberikan secara bergantian antara pengusaha dan buruh. Masa kerja lembaga ini adalah 2 tahun.
Segala biaya yang diperlukan untuk pembentukan dan pelaksanaan kegiatan LKS Bipartit dibebankan kepada pengusaha. Psl 15 Kepmen/255/2003. Kegiatan LKS Bipartit secara berkala setiap 6 (enam) bulan dilaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Psl 16 Kepmen/255/2003.
Menurut Psl 106 UU/13/2003, Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk LKS Bipartit. Meskipun terdapat kata-kata wajib, namun tidak terdapat sanksi bagi perusahaan apabila tidak dibuat lembaga ini.
Fungsi Bipartit dalam PPHI (psl 2 huruf (b) kepmen 255/2003) :
sebagai forum untuk membahas masalah hubungan industrial di perusahaan guna meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan pekerja/buruh yang menjamin kelangsungan usaha dan menciptakan ketenangan kerja.
Mekanisme Penyelesaian Bipartit :
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaian terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat (Psl. 3 ayat (1) UU/2/2004). Setiap perundingan Bipartit harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak (Psl.6 ayat (1) UU.2/2004).Bipartit dilaksanakan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulai perundingan. (Psl. 3 ayat 2 UU/2/2004).
Risalah perundingan tersebut sekurang-kurangnya memuat : (Psl 6 ayat 2 UU.No.2/2004).
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.



Salah satu pihak tidak mau berunding atau tidak ada kata sepakat :
Apabila dalam jangka waktu 30 hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal. (Psl. 3 ayat 2 UU/2/2004).
Bila perundingan gagal maka :
Salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga kerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. (Psl. 4 ayat 1 UU/2/2004). (contoh lampiran bukti kalau bipartit gagal bila salah pihak menolak secara lisan).
Bila bukti perundingan bipartit tidak dilampirkan :
Instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenaga kerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas. (Psl. 4 ayat 2 UU/2/2004).
Perundingan bipartit mencapai kesepakatan :
Dalam hal musyawarah dalam perundingan bipartit mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat perjanjian bersama (model perjanjian ?) yang ditandatangani oleh para pihak. (Psl 7 ayat (1) UU.No.2/2004). Perjanjian bersama ini mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak (Psl 7 ayat (2) UU.No.2/2004). Perjanjian bersama ini wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada PHI pada PN di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama. (Psl 7 ayat (3) UU.No.2/2004). (Tidak ada sanksi bagi perjanjian bersama yang tidak didaftarkan ke PN). (harus ada format bentuk perjanjian.
Pendaftaran perjanjian bersama ke PN, maka PN akan memberikan akta bukti pendaftaran perjanjian bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama. (Psl 7 ayat (4) UU.No.2/2004). (contoh akta bukti pendaftaran)
Bila perjanjian bersama yang sudah disepakati tidak dilaksanakan oleh salah satu atau para pihak :
Bila perjanjian bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada PHI pada PN diwilayah perjanjian bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. (Psl 7 ayat (5) UU.No.2/2004). (contoh surat permohonan eksekusi).
Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar PN tempat pendaftaran perjanjian bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui PHI pada PN di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk di teruskan ke PHI pada PN yang berkompeten melaksanakan eksekusi. (Psl 7 ayat (6) UU.No.2/2004).
LKS bipartit diatur dalam UU.No.13/2003 pasal 106. Tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan diatur dalam Kepmen255/2003.
  1. Penyelesaian Mediasi.
Mediasi adalah sebuah istilah baru dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Bila dilihat dari mekanisme kerja, maka mediator memiliki kemiripan dengan pegawai perantaran.
Penyelesaian mediasi di lakukan setelah perundingan secara bipartit tidak menemui kata sepakat.

MEDIATOR
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. (Psl 4 ayat (4) UU.No.2/2004).
Lama Penyelesaian Mediasi :
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan
Syarat Mediator : (Psl 9 UU/2/2004 & Psl 3 ayat (1) Kepmen 92/2004)
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d. menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri : (Psl 3 ayat (2) Kepmen 92/2004)
- Telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan teknis hubungan industrial dan syarat kerja yang dibuktikan dengan sertifikat dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.
- Telah melaksanakan tugas di bidang pembinaan hubungan industrial sekurang - kurangnya 1 ( satu ) tahun setelah lulus pendidikan dan pelatihan teknis hubungan industrial (sudah terlaksana ?) dan syarat kerja.
Setiap mediator mempunyai kartu legitimasi yang dikeluarkan oleh menteri tenaga kerja. Hal ini diatur didalam Pasal 5 Kepmen 92/2004
“Di dalam kartu legitimasi dicantumkan wilayah kerja sesuai dengan wilayah kerja instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang mengusulkan.”(Harus ada contoh kartu mediator).
Kedudukan Mediator :
Mediator berkedudukan di : (Psl 10 Kepmen 92/2004)
a. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi ;
Mediator yang berkedudukan di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, melakukan mediasi perselisihan hubungan industrial yang terjadi lebih dari satu wilayah Provinsi.(Psl 11 ayat (1) Kepmen 92/2004)
b. Kantor/Dinas/Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan Provinsi
Mediator yang berkedudukan di instansi yang bertangung jawab di bidang ketenga kerjaan Provinsi, melakukan mediasi perselisihan hubungan industrial yang terjadi lebih dari satu wilayah Kabupaten / Kota. (Psl 11 ayat (2) Kepmen 92/2004)
c. Kantor/Dinas/Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Mediator yang berkedudukan di instansi yang bertangung jawab di bidang ketenga kerjaan Provinsi, melakukan mediasi perselisihan hubungan industrial yang terjadi lebih dari satu wilayah Kabupaten / Kota tempat pekerja / buruh bekerja. (Psl 11 ayat (3) Kepmen 92/2004)
 
Tidak ada/Kurangnya Jumlah Mediator : 
Dalam hal satu wilayah kerja Kabupaten / Kota tidak mempunyai mediator atau mediator yang ada tidak mencukupi jumlahnya, maka untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten / Kota yang bersangkutan dapat meminta bantuan tenaga mediator kepada kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang terdekat dalam 1 (satu) Provinsi. (Psl 11 ayat (4) Kepmen 92/2004)
Mediator Khusus : (Psl 6 Kepmen 92/2004)
Berdasarkan pertimbangan tertentu Menteri dapat memberikan legitimasi kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/ Kota untuk menjadi mediator (Psl 6 ayat (1) Kepmen 92/2004). Pemberian legitimasi tersebut tidak melalui persyaratan. (Psl 6 ayat (2) Kepmen 92/2004) dengan dilakukan melalui pengusulan dari kepala daerah setempat. (Bupati, Walikota atau Ka. Disnaker ?) (Psl 6 ayat (3) Kepmen 92/2004) Legitimasi ini berlaku selama yang bersangkutan menjabat sebagai kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. (Psl 6 ayat (4) Kepmen 92/2004)
Campur tangan Menteri Dalam Mediasi :
Dalam hal perselisihan menimbulkan dampak yang mempengaruhi kepentingan nasional, maka Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat mengambil langkah penyelesaian, berkordinasi dengan Kepala Daerah setempat. (Psl 12 Kepmen 92/2004)
Dalam hal perselisihan hubungan industrial menyangkut mengenai perundingan Perjanjian Kerja Bersama yang tidak dapat mencapai kesepakatan pada tingkat mediasi di Kabupaten / Kota atau Provinsi, maka berdasarkan kesepakatan para pihak, perselisihan dapat disampaikan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mendapatkan langkah - langkah penyelesaian. (Psl 13 Kepmen 92/2004)
Mediator mempunyai kewajiban (Psl 8 ayat (1) Kepmen 92/2005).
a.  Memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar keterangan yang diperlukan ;
 b.  Mengatur dan memimpin mediasi ;
 c.  Membantu membuat perjanjian bersama, apabila tercapai
 d.  Membuat anjuran secara tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan ;
 e.  Membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial ;
      (dibuat berdasarkan petunjuk dirjen…..harus ada contohnya)
 f.  Membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial ;
Kewenangan Mediator : (Psl 9 Kepmen/92/3004)
a. Menganjurkan kepada para pihak yang berselisih untuk berunding terlebih dahulu dengan itikad baik sebelum dilaksanakan mediasi ;
b.Meminta keterangan, dokumen, dan surat - surat yang berkaitan dengan perselisihan
c. Mendatangkan saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan ;
d. Membuka buku dan meminta surat - surat yang diperlukan dari para pihak dan instansi atau lembaga terkait ;
e. Menerima atau menolak wakil para pihak yang berselisih apabila ternyata tidak memiliki surat kuasa.
Saksi Dalam Mediasi :
Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya. (Psl 11 ayat (1) UU.No.2/2004). Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (Psl 11 ayat (2) UU.No.2/2004).
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. (Psl 12 ayat (1) UU.No.2/2004).(apakah pihak yang berperkara bisa melihat keterangan, buku dan surat yang diperlukan ?) Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta (Psl 12 ayat (3) UU.No.2/2004).
Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.(UU yang mana ?) (Psl 12 ayat (2) UU.No.2/2004).
Kewajiban Mediator setelah menerima pencatatan :
Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Mediasi/konsiliator bila sudah ditetapakan dalam perundiangan bipartit lembaga yang menyelesaikannya) setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase. (Psl 4 ayat (3) UU.No.2/2004).
Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. (Psl 4 ayat (4) UU.No.2/2004).
Pegawai Negeri Sipil di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat melakukan mediasi sebagaimana diatur dalam Undang - undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial setelah memperoleh pengangkatan dengan pemberian legitimasi sebagi mediator dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.(Psl 2 Kepmen/92/2004).
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. (Psl 10 UU.No.2/2004).
Segera setelah menerima pelimpahan berkas perselisihan maka mediator harus : (Psl 14 ayat (1) Kepmen/92/2004).
 a.  Melakukan penelitian berkas perselisihan;
 b.  Melakukan sidang mediasi paling lambat 7 ( tujuh hari kerja setelah
      menerima pelimpahan tugas untuk menyelesaikan perselisihan ;
c.  Mencapai para pihak secara tertulis untuk menghadiri sidang denganmempertimbangkan waktu panggilan sehingga sidang mediasi dapat dilaksanakan selambat - lambatnya 7 (hari) kerja sejak menerima pelimpahan tugas untuk menyelesaikan perselisihan ;
 d. Melaksakan sidang mediasi dengan mengupayakan penyelesaian
      secara musyawarah untuk mufakat ;
 e.  Mengeluarkan anjuran secara tertulis kepada para pihak apabila
      penyelesaian tidak mencapai kesepakatan dalam waktu selambat –
      lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang pertama ;
      Anjuran tertulis mediator memuat :   (Psl 14 ayat (7)  Kepmen/92/2004).
a.  Keterangan pekerja/buruh atau keterangan serikat pekerja/serikat
      buruh ;  
      b.  Keterangan pengusaha ;  
      c.  Keterangan saksi / saksi ahli apabila ada ;  
      d.  Pertimbangan hukum dan kesimpulan mediator ;  
      e.  Isi anjuran.
f.       Membantu membuat perjanjian bersama secara tertulis apabila tercapai kesepakatan penyelesaian, yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator ;
g.  Memberitahu para pihak untuk mendaftarkan perjanjian bersana yang telah ditandatangani para pihak ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat dimana perjanjian bersama ditandatangani untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran ;
h.  Membuat risalah pada setiap penyelesaian perselisihan hubungan
      industrial.
Dalam hal salah satu pihak atau para pihak mengunakan jasa kuasa hukum dalam sidang mediasi, maka pihak yang menggunakan jasa hukum tersebut harus tetap hadir. (Psl 14 ayat (2) Kepmen/92/2004).
Tercapai kesepakatan dalam Mediasi :
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. (Psl. 13 ayat (1)/UU/2/2004).
Tidak tercapai kesepakatan dalam Mediasi : (Psl. 13 ayat (2)/UU/2/2004).
a.mediator mengeluarkan anjuran tertulis; 
b.anjuran tersebut dibuat dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak; 
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis; 
Menerima anjuran :
Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. (Psl. 13 ayat (2) huruf e/UU/2/2004).
Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dilakukan sebagai berikut: (Psl. 13 ayat (3) /UU/2/2004
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. 
c.dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. 
Menolak anjuran :
pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis; (Psl. 13 ayat (2) huruf d/UU/2/2004).
....................., maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. (Psl. 14 ayat (1) huruf d/UU/2/2004). 
......................dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. (Psl. 14 ayat (1) huruf d/UU/2/2004). (contoh surat gugatan)
Para Pihak tidak Hadir setelah dipanggil :
Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan waktu penyelesaian ternyata pihak pemohon tidak hadir, maka permohonan tersebut dihapus dari buku perselisihan. (Psl 14 ayat (3) Kepmen/92/2004).
Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan waktu penyelesaian ternyata pihak termohon tidak hadir, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis berdasarkan data - data yang ada. (Psl 14 ayat (4) Kepmen/92/2004).

Mediasi Dalam Rencana Mogok :
Dalam hal instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan menerima pemberitahuan pemogokan atau penutupan perusahaan, maka atas penunjukan kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mediator segera mengupayakan penyelesaian dengan mempertemukan para pihak untuk melakukan musyawarah agar tidak terjadi pemogokan atau penutupan perusahaan. (Psl 16 ayat (4) Kepmen/92/2004).
Dalam hal musyawarah untuk menghentikan pemogokan atau penutupan perusahaan tidak tercapai, maka penyelesaian perselisihan mengacu kepada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 14. (Psl 16 ayat (2) Kepmen/92/2004).
Pemberhentian Mediator :
Pemberhentian mediator dilakukan dengan pencabutan legitimasi oleh Menteri. (Psl 17 ayat (1) Kepmen/92/2004).
Pencabutan legitimasi dilakukan karena : (Psl 17 ayat (2) Kepmen/92/2004).
 a. Meninggal dunia ;
 b. Permintaan sendiri ;
 c. Memasuki usia pensiun ;
 d. Diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil ;
 e. Tidak bertugas lagi pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
      ketenagakerjaan.
 f. Telah dikenakan pemberhetian sementara sebanyak 3 ( tiga ) kali.
 
Sanksi bagi Mediator :   
Dalam hal mediator dapat menyelesaikan tugas dalam waktu 30 (tiga puluh ) hari kerja maka atasan langsung mediator harus meneliti sebab - sebab tidak selesainya perselisihan. (Psl 18 ayat (1) Kepmen/92/2004). Dalam hal sebab - sebab ternyata diakibatkan dari kelalaian mediator maka atasan langsung mediator menjatuhkan lisan. (Psl 18 ayat (2) Kepmen/92/2004).
Teguran lisan dan tertulis :  
Teguran lisan dilakukan setiap kali mediator tidak dapat menyelesaikan tugas dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari kerja. (Psl 19 ayat (1) Kepmen/92/2004). Teguran tertulis diberikan setelah melalui teguran lisan sebanyak 3 ( tiga ) kali. (Psl 19 ayat (2) Kepmen/92/2004).Pemberhentian sementara dilakukan setelah melalui teguran tertulis sebanyak 3 ( tiga ) kali. (Psl 19 ayat (3) Kepmen/92/2004).
 
Pemberhentian Sementara :
Pemberhentian sementara sebagai mediator berlaku untuk jangka waktu selama 2 (dua) bulan. (Psl 20 ayat (1) Kepmen/92/2004). Pemberhentian sementara dilakukan dengan kartu legitimasi oleh kepala instansi tempat kedudukan mediator yang bersangkutan. (pencabutan kartu atau ?) (Psl 20 ayat (2) Kepmen/92/2004). Selama pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 mediator yang bersangkutan tidak boleh menangani perselisihan. (Psl 20 ayat (3) Kepmen/92/2004).
Dalam hal mediator telah pernah dikenakan pemberhentian sementara pertama, maka apabila mediator yang bersangkutan melakukan kelalaian kembali maka dikenakan pemberhentian sementara yang kedua. (Psl 21 ayat (1) Kepmen/92/2004). Dalam hal mediator telah pernah dikenakan pemberhentian sementara kedua, maka apabila mediator yang bersangkutan melakukan kelalaian kembali maka dikenakan pemberhentian sementara yang ketiga. (Psl 21 ayat (2) Kepmen/92/2004).



Pemberhentian tetap : 
Sebelum mediator dikenakan pemberhentian tetap, maka yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam waktu 14 ( empat belas ) hari kerja sejak tanggal penerimaan pemberhentian sementara yang ketiga. (Psl 22 ayat (1) Kepmen/92/2004).
Pembelaan diri adalah sebagai berikut : (Psl 22 ayat (2) Kepmen/92/2004).
a. Mediator yang berkedudukan di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi pembelaan diri dilakukan dihadapan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial 
b. Mediator yang berkedudukan di Provinsi pembelaan diri dilakukan dihadapan Gubernur.  
c. Mediator yang berkedudukan di Kabupaten / Kota pembelaan diri dilakukan dihadapan Bupati /Walikota.
Apabila mediator tidak menggunakan kesempatan membela diri dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengusulkan kepada Menteri untuk mencabut legitimasi mediator yang bersangkutan. (Psl 22 ayat (6) Kepmen/92/2004).
Dalam hal pembelaan mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dapat diterima, maka Menteri memberitahukan kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengembalikan kartu legitimasi mediator. (Psl 22 ayat (7) Kepmen/92/2004).
Dalam hal pembelaan diri tidak dapat diterima, maka Menteri menerbitkan keputusan pencabutan legitimasi mediator yang bersangkutan. (Psl 22 ayat (2) Kepmen/92/2004).
Pengangkatan Pegawai Perantaraan menjadi mediator : (Psl 23 ayat (1), (2), (3) Kepmen/92/2004).
Pegawai perantara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah diangkat sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri ini dapat diberi legitimasi sebagai mediator.
Untuk mendapatkan legitimasi, Bupati / Walikota atau Gubernur atau Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial mengusulkan kepada Menteri.
Pelaksanaan tugas mediator sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri ini berlaku efektif sejak mulai berlakunya UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 

Penyelesaian Konsiliasi : 
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi merupakan bentuk penyelesaian perselisihan yang mirip dengan mediasi. Namun perbedaannya mediasi merupakan pegawai karir dalam departemen tenaga kerja, sedangkan konsiliator bukan merupakan pegawai karir. Dalam konsiliasi penyelesaian perselisihan dilakukan oleh konsiliator.
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. (Psl. 17 UU.2/2004). 
Penyelesaian oleh konsiliator, dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak. (Psl. 18 ayat (2) UU.2/2004). Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. 
Waktu Penyelesaian dalam konsiliator :
Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan. (Psl. 25 UU.2/2004). 
Penyelesaian di tingkat konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus sudah selesai dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permintaan penyelesaian perselisihan. (Psl 11 Pemen 10/2005)
Syarat Konsiliator : (Psl 2 ayat (1) Pemen 10/2005)
   a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha esa;
   b. warga negara Indonesia;
   c. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
   d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S1);
   e. berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
   f. berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela;
   g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang kurangnya 5 thn;
   h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan;
   i. tidak berstatus Pegawai Negeri Sipil atau anggota TNI/POLRI;
   j. lulus mengikuti program latihan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
    
Pengalaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g, meliputi kegiatan yang pernah dilakukan sebagai : (Psl 2 ayat (2) Pemen 10/2005)
   a. penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
   b. kuasa hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
   c. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha;
   d. konsultan hukum bidang hubungan industrial;
   e. pengelola sumber daya manusia di perusahaan;
   f. dosen, tenaga pengajar, dan peneliti di bidang hubungan industrial;
   g. anggota P4D/P4P atau Panitera P4D/P4P;
   h. narasumber atau pembicara dalam seminar, lokakarya, simposium dan lain-lain di
                  bidang hubungan industrial.
     
Dalam hal calon konsiliator tidak memenuhi pengalaman 5 (lima) tahun untuk salah satu kegiatan, maka pengalaman 5 (lima) tahun dapat diperhitungkan dari penggabungan beberapa kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (Psl 2 ayat (3) Pemen 10/2005) Pengalaman 5 (lima) tahun atas perhitungan penggabungan beberapa kegiatan dibuktikan dengan surat keterangan Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat. (Psl 2 ayat (4) Pemen 10/2005)
Konsiliator yang lulus seleksi :       
Calon konsiliator yang telah lulus seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, diusulkan oleh Bupati/Walikota daengan melampirkan tanda lulus seleksi kepada Menteri untuk mendapatkan legitimasi sebagai konsiliator.
Calon konsiliator yang diusulkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi legitimasi sebagai konsiliator dengan Keputusan Menteri.
Konsiliator yang telah mendapat legitimasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melapor kepada Bupati/Walikota untuk dicatat sebagai konsiliator dan didaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat.
Tugas Konsiliator : (Psl 5. Kepmen 10/2005)
Konsiliator bertugas melakukan konsiliator kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Kewenangan Konsiliator : (Psl 6. Kepmen 10/2005)
 a. meminta keterangan kepada para pihak;
 b. menolak wakil para pihak apabila ternyata tidak memiliki surat kuasa;
 c. menolak melakukan konsiliasi bagi pra pihak yang belum melakukan perundingan
      secara bipartit;
 d. meminta surat/dokumen yang berkaitan dengan perselisihan;
 e. memanggil saksi atau saksi ahli;
 f. membuka buku dan meminta surat-surat yang diperlukan dari para pihak
instansi/lembaga terkait.
Kewajiban Konsiliator : (Psl 7. Kepmen 10/2005)
    1. memanggil para pihak yang berselisih untuk dapat didengar keterangan yang diperlukan;
    2. mengatur dan memimpin konsiliasi;
    3. membantu membuat perjanian bersama apabila tercapai kesepakatan;
    4. membuat anjuran tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian;
    5. membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
    6. membuat dan memelihara buku khusus dan berkas perselisihan yang ditangani;
    7. membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial.



Kedudukan Konsiliator : (Psl 9. Kepmen 10/2005)
Konsiliator melakukan konsiliasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi di Kabupaten/Kota tempat pekerja/buruh bekerja. (Psl 9. ayat (1) Kepmen 10/2005)
Berdasarkan permintaan para pihak yang berselisih, konsiliator dapat melakukan konsiliasi diluar wilayah konsiliator terdaftar dengan seijin Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tempat konsiliator terdaftar. (Psl 9 ayat (2). Kepmen 10/2005)
Berdasarkan pertimbangan anggaran, Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tempat konsiliator terdaftar berwenang menolak permintaan para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (Psl 9. ayat (3) Kepmen 10/2005).
Setelah konsiliator menerima permintaan penyelesaian :
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama. (Psl. 20 UU/2/2004).
Setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis dari para pihak, kosiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak segera : (Psl. 10 ayat (1). Kepmen 10/2005)
a. mencatat dalam buku yang dibuat khusus untuk itu;
b. melakukan penelitian berkas perselisihan termasuk risalah perundingan bipartit;
c. melakukan sidang konsiliasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan penyelesaian secara tertulis;
d. memanggil para pihak secara tertulis untuk menghadiri sidang dengan mempertimbangkan waktu panggilan sehingga sidang konsiliasi dapat dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima penyerahan penyelesaian perselisihan;
e. melaksanakan sidang konsiliasi dengan mengupayakan penyelesaian perselisihan secara musyawarah untuk mufakat;
i. membuat risalah pada setiap penyelesaian perselisihan hubungan idustrial
Menggunakan Kuasa Hukum dalam konsiliator : (Psl. 10 ayat (2). Kepmen 10/2005)
Dalam hal salah satu pihak atau para pihak menggunakan jasa kuasa hukum dalam sidang konsiliasi, maka pihak yang menggunakan jasa kuasa hukum tersebut harus tetap hadir.
Saksi dalam konsiliasi :
Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya. (Psl. 21 ayat (1) UU/2/2004). Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (Psl. 21 ayat (2) UU/2/2004).
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. (Psl. 22 ayat (1) UU/2/2004).
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Para pihak tidak hadir : (Psl. 10. Kepmen 10/2005)
Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan waktu penyelesaian ternyata pihak pemohon tidak hadir, maka konsiliator melaporkan kepada instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat untuk dihapuskan dari buku perselisihan. (Psl. 10 ayat (3). Kepmen 10/2005)
Dalam hal para pihak telah dipanggil dengan mempertimbangkan waktu penyelesaian ternyata pihak termohon tidak hadir, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis berdasarkan data-data yang ada. (Psl. 10. ayat (4) Kepmen 10/2005)
Tercapai Kesepakatan dalam konsiliator : (Psl. 23 ayat (1). UU/2/2004)
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. 
Membantu membuat perjanjian bersama secara tertulis apabila tercapai kesepakatan penyelesaian, yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator; (Psl. 10 ayat (1) huruf g. Kepmen 10/2005) memberitahukan para pihak untuk mendaftarkan perjanjian bersama yang telah ditandatangani ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat dimana perjanjian bersama ditandatangani untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran; (Psl. 10 ayat (1) huruf h. Kepmen 10/2005).
Tidak Tercapai kata sepakat dalam konsiliasi : (Psl. 23 ayat (2) huruf a UU/2/2004)
konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
Anjuran Tertulis :
anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak; (Psl 23 ayat (2) huruf b UU/2/2004).
Mengeluarkan anjuran secara tertulis kepada para pihak apabila penyelesaian perselisihan tidak mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama; (Psl. 10 ayat (1) huruf f. Kepmen 10/2005).
Anjuran tertulis konsiliator memuat : (Psl. 10 ayat (7) Kepmen 10/2005).
   a  keterangan pekerja/buruh atau keterangan serikat pekerja/serikat buruh;
   b  keterangan pengusaha;
   c  keterangan saksi/saksi ahli apabila ada;
   d  pertimbangan hukum dan kesimpulan konsiliator;
   e  isi anjuran.
Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis; (Psl. 23 ayat (2) huruf c UU/2/2004)
Menolak anjuran tertulis :
Pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis; (Psl. 23 ayat (2) huruf d UU/2/2004).
Dalam hal para pihak tidak menjawab anjuran secara tertulis dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak anjuran tertulis dikeluarkan, maka para pihak dianggap menolak anjuran, selanjutnya konsiliator mencatat dalam buku perselisihan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaiakan melalui konsiliasi. (Psl. 10 ayat 5 Kepmen 10/2005).
Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat (Psl. 24 ayat (1) UU/2/2004). .......dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak. (Psl. 24 ayat (2) UU/2/2004). 
Menerima anjuran tertulis :
Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. (Psl. 23 ayat (2) huruf deUU/2/2004) 
Dalam hal para pihak menyetujui anjuran dan menyatakannya secara tertulis, maka konsiliator membantu pembuatan perjanjian bersama selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran disetujui para pihak yang kemudian ditandatangani oleh para pihak dan konsiliator sebagai saksi. (Psl. 10 ayat 6 Kepmen 10/2005).
Pendaftaran perjanjian bersama di PHI : (Psl. 23 ayat (3) UU/2/2004) 
Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama;
b. Apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Kerahasian keterangan :
Dalam hal konsiliator mengeluarkan anjuran dengan mempertimbangkan keterangan yang harus dirahasiakan menurut permintaan pemberi keterangan, maka dalam anjuran konsiliator cukup menyatakan kesimpulan berdasarkan keterangan yang harus dirahasiakan dalam pertimbangannya. (Psl. 10 ayat 8 Kepmen 10/2005).
Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Psl 22 ayat (2) UU/2/2004).
Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta. .(Psl 22 ayat (3) UU/2/2004).
Honorarium Konsiliator : (Psl 26 ayat (1) UU/2.2004).
Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan penyelesaian perselisihan yang dibebankan kepada negara. 
Pemberhentian Konsiliator :
Pemberhentian konsiliator dilakukan dengan pencabutan legitimasi oleh Menteri. (Psl. 12 ayat (1) Kepmen 10/2005).
Pencabutan legitimasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena : (Psl. 12 ayat (2) Kepmen 10/2005) :
   a  meninggal dunia;
   b  permintaan sendiri;
   c  terbukti telah melakukan tindak pidana kejahatan;
   d  menyalahgunakan jabatan;
   e  membocorkan keterangan yang seharusnya dirahasiakan;
   f  telah dikenakan pencabutan sementara sebanyak 3 (tiga) kali.
Teguran untuk Konsiliator :
Sebelum dilakukan pencabutan legitimasi sementara, terhadap konsiliator yang bersangkutan diberikan teguran tertulis. (Psl. 12 ayat (3) Kepmen 10/2005).
Teguran tertulis diberikan konsiliator apablia : (Psl. 13 ayat (1) Kepmen 10/2005)
a. Tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja dalam hal para pihak tidak tercapai kesepakatan;
b. Tidak membantu para pihak membuat perjanjian bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja;
c Tidak menyelesaikan perselisihan dalam waktu 30 (tiga pulh) hari kerja; aatau
d. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g.
Dalam hal sebab-sebab sebagaiman dimaksud pada ayat (1) ternyata diakibatkan dari kelalaian konsiliator maka Bupati/Walikota menjatuhkan teguran tertulis kepada konsiliator yang berkekdudukan di Kabupaten/Kota. (Psl. 13 ayat (2) Kepmen 10/2005)
Pencabutan sementara :
Pencabutan sementara dilakukan setelah melalui teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam waktu 2 (dua) bulan. (Psl. 13 ayat (2) Kepmen 10/2005). Pencabutan sementara sebagai konsiliator berlaku untuk waktu selama 3 (tiga) bulan.(Psl. 14 ayat (1) Kepmen 10/2005. Pencabutan sementara dilakukan dengan menarik legitimasi oleh Menteri. (Psl. 14 ayat (2) Kepmen 10/2005). Menteri dapat mendelegasikan pencabutan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial, Gubernur atau Bupati/Walikota. (Psl. 14 ayat (3) Kepmen 10/2005).
Selama pancabutan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) konsiliator yang bersangkutan tidak boleh menangani perselisihan yang baru tetapi wajib menyelesaikan perselisihan yang sedang ditangani. (Psl. 14 ayat (4) Kepmen 10/2005).
Dalam hal Menteri atau Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial atau Gubernur atau Bupati/Walikota mencabut legitimasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pencabutan sementara tersebut harus diumumkan, sekurang-kurangnya ditempatkan pada papan pengumuman di kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tempat konsiliastor terdaftar. (Psl. 14 ayat (5) Kepmen 10/2005).

Dalam hal konsiliator telah pernah dikenakan pencabutan sementara pertama, maka apbila konsiliator yang bersangkutan melakukan kelalaian kembali dikenakan pencabutan sementara yang kedua. (Psl. 15 ayat (1) Kepmen 10/2005).
Dalam hal konsiliator telah pernah dikenakan pencabutan sementara kedua maka apabila konsiliator yang bersangkutan mealakukan kelalaian kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan pencabutan sementara yang ketiga. (Psl. 15 ayat (2) Kepmen 10/2005) 
Sebelum konsiliator dikanakan pencabutan tetap, maka yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal penerimaan pemberitahuan pencabutan sementara yang ketiga. (Psl. 16 ayat (1) Kepmen 10/2005) 
Pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dihadapan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk, menjatuhkan teguran tertulis kepada konsiliator yang berkedudukan di Kabupaten/Kota. (Psl. 16 ayat (1) Kepmen 10/2005)
Pencabutan legitimasi :
Apabila konsiliator tidak menggunakan kesempatan membela diri dalam tenggang waktu), maka pejabat sebagaimana mengusulkan kepada Menteri untuk mencabut legitimasi konsiliator yang bersangkutan. (Psl. 16 ayat (6) Kepmen 10/2005). 
Dalam hal pembelaan diri tidak dapat diterima, maka Menteri menerbitkan keputusan pencabutan legitimasi konsiliator yang bersangkutan. (Psl. 16 ayat (8) Kepmen 10/2005). 

Penyelesaian Arbitrase.
Penyelesaian mengenai arbitrase dalam penyelesaian perselisihan bukanlah merupakan hal yang baru. Penyelesaian melalui arbitrase pernah menjadi alternative penyelesaian dalam proses sengketa pembuatan perjanjian kerja bersama (permen 1 tahun 1985).
Arbitrase merupakan salah satu alternative penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan diluar pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Penyelesaian melalui arbitrase dipimpin oleh seorang abitater.
Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial harus arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri (Psl. 30 ayat (2) UU/2/2004).
Waktu Penyelesaian arbitrase :
Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter. (Psl. 40 ayat (1) UU No/2/2004).
Perpanjangan waktu penyelesaian :
Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu) kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja. (Psl. 40 ayat (2) UU No/2/2004).
Syarat-syarat arbitater : (Psl. 31 ayat (1) UU/2/2004) ; (Psl 2 ayat (1) Permen 5 tahun 2005).
a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. cakap melakukan tindakan hukum;
c. warga negara Indonesia;
d. pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
f. berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase; dan
h. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun : (Psl 2 ayat (2) Permen 5 tahun 2005).
1)   Penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
2)   Kuasa hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
3)   Pengurus serikat pekerja / serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha ;       d.  Konsultan hukum bidang hubungan industrial;
4)   Pengelola sumber daya manusia di perusahaan;
5)   Dosen , tenaga pengajar dan peneliti di bidang hubungan industrial;
6)   Anggota P4D /P4P  atau Panitera P4D / P4P;
7)   Narasumber atau pembicara dalam seminar, lokakarya, simposium dan lain - lain di bidang hubungan industrial.        

Dalam hal calon arbiter tidak memenuhi pengalaman 5 ( lima ) tahun untuk salah satu kegiatan, maka pengalaman 5 ( lima ) tahun dapat diperhitungkan dari penggabungan beberapa kegiatan. (Psl 2 ayat (3) Permen 5 tahun 2005).
Calon arbiter harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri melalui Bupati / Walikota c.q kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan : (Psl 3 ayat (1) Permen 5 tahun 2005). a.  Surat pernyataan tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI / POLRI ;
b.  Daftar riwayat hidup calon konsiliator ; c.  Copy ijazah pendidikan minimal Strata Satu ( S1 ) yang telah dilegalisir rangkap 2 ( dua ) ;
d.  Surat keterangan berbadan sehat dari Dokter ; e.  Surat berkelakuan baik dari kepolisian ;
f.  Copy KTP yang masih berlaku ;
g.  Pas foto berwarna terbaru ukuran 3x4 cm, sebanyak 4 ( empat ) lembar ; h.  Surat keterangan telah memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 2 ayat ( 3 ).
Proses sebelum penunjukan arbiter:
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih. (Psl. 32 ayat (1).UU/2/2004). Dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. (Psl. 32 ayat (2).UU/2/2004).
Surat perjanjian arbitrase, sekurang-kurangnya memuat: (Psl. 32 ayat (3).UU/2/2004).
a. Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
b. Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
c. Jumlah arbiter yang disepakati;
d. Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; dan
e. Tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih. 
Pemilihan dan penunjukan arbitater :
Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase para pihak berhak memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri. (Psl. 33 ayat (1).UU/2/2004). Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. (Psl. 33 ayat (2).UU/2/2004).
Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal, maka para pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja tentang nama arbiter dimaksud. (Psl. 33 ayat (3).UU/2/2004).Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase. (Psl. 33 ayat (4).UU/2/2004). Penunjukan dilakukan secara tertulis. (Psl. 33 ayat (5).UU/2/2004).
Tidak ada kata sepakat atas nama arbiter :
Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal maupun beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka atas permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri. (Psl. 33 ayat (6).UU/2/2004).
Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan. (Psl. 33 ayat (7).UU/2/2004). (minta sogokan) 
Arbiter yang menerima penunjukan :
Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter harus memberitahukan kepada para pihak mengenai penerimaan penunjukannya secara tertulis. (Psl. 33 ayat (8).UU/2/2004).
Arbiter yang bersedia unutk ditunjuk membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan pihak yang berselisih, isi dari perjanjian itu sekurang-kurangnya memuat : (Psl. 34 ayat (2).UU/2/2004).
a. Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih dan arbiter;
b. Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil keputusan;
c. Biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
d. Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; 
e. Tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih dan arbiter;
f. Pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan
g. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
Perjanjian arbiter sekurang-kurangnya dibuat rangkap 3 (tiga), masing-masing pihak dan arbiter mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. (Psl. 34 ayat (3).UU/2/2004). Dalam hal arbitrase dilakukan oleh beberapa arbiter, maka asli dari perjanjian tersebut diberikan kepada Ketua Majelis Arbiter. (Psl. 34 ayat (4).UU/2/2004)
Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani surat perjanjian maka yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak. (Psl. 35 ayat (1).UU/2/2004).
Arbiter menarik diri/meninggal dunia :
Arbiter yang akan menarik diri, harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak. (Psl. 35 ayat (2) UU/2/2004).
Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri maka yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dalam penyelesaian kasus tersebut. (Psl. 35 ayat (3) UU/2/2004).
Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para pihak, arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan alasan yang dapat diterima. (Psl. 35 ayat (4) UU/2/2004).
Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati oleh kedua belah pihak. (Psl. 36 ayat (1) UU/2/2004) Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau meninggal dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada pihak yang memilih arbiter. (Psl. 36 ayat (2) UU/2/2004) Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter pengganti berdasarkan kesepakatan para arbiter. (Psl. 36 ayat (3) UU/2/2004) para pihak harus sudah mencapai kesepakatan menunjuk arbiter pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja. (Psl. 36 ayat (4) UU/2/2004) 
Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak atau salah satu arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada Pengadilan Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti dan Pengadilan harus menetapkan arbiter pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan penggantian arbiter. (Psl. 36 ayat (5) UU/2/2004). Arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus membuat pernyataan kesediaan menerima hasil-hasil yang telah dicapai dan melanjutkan penyelesaian perkara. 
Tuntutan bagi arbiter :
Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan. (Psl. 38 ayat (1) UU/2/2004). Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya. (Psl. 38 ayat (2) UU/2/2004). Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat diajukan perlawanan. (Psl. 38 ayat (3) UU/2/2004).
Hak Ingkar : (Psl. 39 UU/2/2004).
1.      Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
2.      Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada arbiter yang bersangkutan.
3.      Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang disepakati diajukan kepada majelis arbiter yang bersangkutan.
Pemeriksaan dalam arbitrase :
Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.(Psl 40 ayat (2) UU/2/2004)
Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain.(Psl 41 UU/2/2004)
Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. .(Psl 42 UU/2/2004).
Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter. (Psl 45 ayat (1) UU/2/2004)
Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbiter. (Psl 45 ayat (2) UU/2/2004)
Saksi dalam Arbitrase :
Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya. (Psl 46 ayat (1) UU/2/2004). Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. (Psl 46 ayat (2) UU/2/2004). Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan untuk melaksanakan pengambilan sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta. (Psl 46 ayat (3) UU/2/2004). Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta. (Psl 46 ayat (4) UU/2/2004). Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli yang diminta oleh arbiter dibebankan kepada para pihak. (Psl 46 ayat (5) UU/2/2004).
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. (Psl 47 ayat (1) UU/2/2004).
Kerahasiaan kesaksian : (Psl. 47 ayat (2) dan (3) UU/2/2004)
Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
Para pihak tidak hadir : (Psl. 43 UU/2/2004)
  1. Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai.
  2. Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian penunjukan arbiter sebelum perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter atau majelis arbiter, biaya tersebut tidak dapat diminta kembali oleh para pihak. (Psl. 43 ayat (3) UU/2/2004)
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. (Psl. 44 ayat (1) UU/2/2004)


Terdapat perdamaian dalam arbitrase :
Apabila perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter. (Psl. 44 ayat (2) UU/2/2004). Akta Perdamaian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian. (Psl. 44 ayat (3) UU/2/2004).
Pendaftaran Akta Perdamaian dilakukan sebagai berikut:
a. Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akta Perdamaian;
b. Apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Apabila upaya perdamaian gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase. (Psl. 44 ayat (4) UU/2/2004
Putusan arbitrase :
Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum. (Psl. 49 ayat (4) UU/2/2004)
Putusan arbitrase memuat: (Psl. 50 ayat (1) UU/2/2004)
a. Kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. Nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c. Nama lengkap dan alamat para pihak;
d. Hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih; 
e. Ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang berselisih; 
f. Pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
g. Pokok putusan;
h. Tempat dan tanggal putusan;
i. Mulai berlakunya putusan; dan
j. Tanda tangan arbiter atau majelis arbiter. 
Arbiter tidak tanda tangan putusan
Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan. (Psl. 50 ayat (2) UU/2/2004)
Alasan tentang tidak adanya tanda tangan harus dicantumkan dalam putusan.
Waktu pelaksanaan putusan :
Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja harus sudah dilaksanakan. (Psl. 50 ayat (4) UU/2/2004) 
Kekuatan putusan arbiter :
Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. (Psl. 51 ayat (1) UU/2/2004) Putusan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan. (Psl. 51 ayat (2) UU/2/2004) 
Putusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak :
Dalam hal putusan arbitrase tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan. (Psl. 51 ayat (3) UU/2/2004) Perintah harus diberikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. (Psl. 51 ayat (4) UU/2/2004) 

Pengajuan permohonan pembatalan putusan arbiter :
Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: (Psl. 52 ayat (1) UU/2/2004) : 
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
d. Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. (Psl. 52 ayat (2) UU/2/2004) Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan. (Psl. 52 ayat (3) UU/2/2004) :
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. (Psl. 53 UU/2/2004) 
Tanggung jawab hukum arbiter :
Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut. (Psl. 54 UU/2/2004).
Sanksi untuk arbiter :  Psl. 9 Permen 2/2005      
a. Teguran tertulis ;
Diberikan atas pengaduan salah satu dan atau para pihak karena arbiter : (Psl. 10 ayat (1) Permen 2/2005 huruf a dan b)
- Tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang ditanganinya
dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari atau 44 ( empat puluh empat ) hari dalam hal
terdapat kesepakatan para pihak mengenai perpanjangan penyelesaiaan
arbitrase ; dan atau
- Tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan.
b. Pencabutan sementara sebagi arbiter ; atau
Pencabutan sementara, dilakukan dalam hal arbiter yang bersangkutan telah mendapat 3 ( tiga ) kali teguran tertulis dalam waktu 2 ( dua ) bulan. (Psl. 10 ayat (2) Permen 2/2005)
Teguran tertulis dan pencabutan sementara diberikan oleh Menteri atas usul kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi, Kabupaten/Kota di tempat arbiter melakukan arbitrase. (Psl. 10 ayat (3) Permen 2/2005)
c.Pencabutan tetap sebagai arbiter.
Dilakukan oleh Menteri dalam hal : (Psl. 11 ayat (1) Permen 2/2005)
a. Putusan yang diambil melampaui kekuasaannya atau putusan bertentangan
dengan undang - undang yang dibuktikan dengan putusan Mahkamah Agung
sebanyak 3 ( tiga ) kali ; 
b. Terbukti melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap ;
c. Menyalahgunakan jabatan ; 
d. Telah dijatuhi pencabutan sementara sebagai arbiter sebanyak 3 ( tiga ) kali       
Dalam hal arbiter akan dicabut dengan alasan maka arbiter yang bersangkutan diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dalam waktu 14 ( empat belas ) hari kerja sejak tanggal penerimaan pengaduan. (Psl. 11 ayat (3) Permen 2/2005)
Pembelaan arbiter diterima :   
Dalam hal pembelaan arbiter dapat diterima, maka Menteri mencabut kembali pencabutan sementara ketiga. (Psl. 12 ayat (6) Permen 2/2005)
Pembelaan arbiter ditolak :
Dalam hal pembelaan diri arbiter tidak dapat diterima, maka Menteri melakukan pencabutan tetap sebagai arbiter. (Psl. 12 ayat (7) Permen 2/2005)
Pemberhentian arbiter : (Psl. 13 Permen 2/2005)   
1. Meninggal dunia ;
2. Permintaan sendiri ;
3. Dicabut kewenangan sebagai arbiter.
4. Penyelesaian Pengadilan Hubungan Industrial.
Keberadaan PHI :
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. (Psl. 55/2/2004).
Acara yang dipakai : 
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini. (Psl. 57/2/2004).
Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari: (Psl. 60 ayat (1) /2/2004).
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc;
c. Panitera Muda; dan
d. Panitera Pengganti.
Susunan para mahkamah agung : (Psl. 60 ayat (1) /2/2004).
a. Hakim Agung
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c. Panitera.
Syarat hakim ad hoc : (Psl. 64 ayat (1) /2/2004).
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1) kecuali bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana hukum; dan
h. berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 tahun.
Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai: (Psl. 66 ayat (1) /2/2004).
a. anggota Lembaga Tinggi Negara; 
b. kepala daerah/kepala wilayah; 
c. lembaga legislatif tingkat daerah;
d. pegawai negeri sipil;
e. anggota TNI/Polri;
f. pengurus partai politik; 
g. pengacara; 
h. mediator; 
i. konsiliator; 
j. arbiter; atau
k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha.
Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat dibatalkan. (Psl. 66 ayat (2) /2/2004).
Pengajuan Gugatan : (Psl. 81 /2/2004).
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. 
Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada pengugat. (Psl. 83 ayat (1)UU/2/2004). Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta pengugat untuk menyempurnakan gugatannya. (Psl. 83 ayat (1)UU/2/2004). Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus.(Psl. 84.UU/2/2004).
Pencabutan gugatan :
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. .(Psl. 85 ayat (1) UU/2/2004). Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial hanya apabila disetujui tergugat.(Psl. 85 ayat (1) UU/2/2004).
Terdapat perselisihan hak dan kepentingan dalam gugatan :
Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan. .(Psl. 86 UU/2/2004).
Kuasa Hukum :
Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya. .(Psl. 87 UU/2/2004).
Penunjukan hakim :
Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan. (Psl. 88 UU/2/2004).
Acara biasa :
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang pertama. (Psl. 89 ayat (1) UU/2/2004).
Pemanggilan para pihak :
Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di tempat kediaman terakhir. (Psl. 89 ayat (2) UU/2/2004).
Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir. (Psl. 89 ayat (3) UU/2/2004). 
Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan. (Psl. 89 ayat (4) UU/2/2004).
Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya. (Psl. 89 ayat (5) UU/2/2004). 
Para pihak tidak hadir :
Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan. (Psl. 93 ayat (1) UU/2/2004). Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan. (Psl.93 ayat (2) UU/2/2004). 
Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir, maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi. (Psl.94 ayat (1) UU/2/2004)
Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir ,maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat. (Psl.94 ayat (2) UU/2/2004)


Saksi :
Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan guna diminta dan didengar keterangannya. (Psl. 90 ayat (1) UU/2/2004). 
Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah sumpah. (Psl. 90 ayat (2) UU/2/2004). 
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan. (Psl. 91 ayat (1) UU/2/2004). Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta (Psl. 91 ayat (3) UU/2/2004). 
Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Psl. 91 ayat (2) UU/2/2004)
Putusan sela kewajiban pengusaha :
Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan. (Psl 96 ayat (1) UU/2/2004) Putusan Sela dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua. (Psl 96 ayat (2) UU/2/2004). Putusan Sela dan Penetapan tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum. (Psl 96 ayat (4) UU/2/2004).
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial. (Psl 96 ayat (3) UU/2/2004).
Putusan pengadilan hubungan industrial :
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial. (Psl 97 UU/2/2004).
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat :
Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat. (Psl 98 ayat (1) UU/2/2004).
Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut. (Psl 98 ayat (2) UU/2/2004). Terhadap penetapan tidak dapat digunakan upaya hukum. (Psl 98 ayat (3) UU/2/2004).
Pasal 99
(1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan. 
(2) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja. 
Putusan Hakim   :
Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. (Psl 101 UU/2/2004).
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi. (Psl 107/2/2004).            

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan  putusan akhir dan bersifat tetap.   (Psl 109/2/2004).                   

Putusan Memuat :
a. Kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
c.  Ringkasan pemohon/penggugat dan jawabatan termohon/tergugat yang jelas;
d. Pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e.  Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f.  Amar putusan tentang sengketa;
g. Hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditandatangani oleh Hakim, Hakim  Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.  (Psl. 104UU/2/2004)                                      

Para pihak tidak menghadiri pembacaan putusan :                               
Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang,  Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir tersebut.   (Psl 101 ayat (2) UU/2/2004)        
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang (Psl 105 UU/2/2004).

Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani, Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.  (Psl (106 UU/2/2004).
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak. (Psl (1067UU/2/2004).

Kasasi :
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila  tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja: (Psl 110 UU/2/2004)
a.   bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam sidang majelis hakim;
b.   bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.        

Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi  harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. (Psl 111 UU/2/2004).
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung.  (Psl 111 UU/2/2004).


Read more...

FPBI

FPBI