Jumat, 09 Mei 2014

MENGENAL DAN MEMAHAMI NEOLIBERALISME:

0 komentar
Sebuah Pengantar

Oleh : Coen Husain Pontoh



I. Sekilas Tentang Krisis Ekonomi

Rezim orde baru ternyata tidak hanya  melakukan manipulasi di bidang politik, tetapi juga telah menjerumuskan negeri ini ke dalam jurang krisis ekonomi yang sangat parah. Manipulasi ekonomi itu nampak dari publikasi data-data yang tidak akurat sehingga menutupi kenyataan yang sesungguhnya. Itu sebabnya, hampir tidak ada yang percaya bahwa perekonomian Indonesia yang tumbuh sekitar 6-7 persen per tahun, pergerakan sektor riil dan jasa yang dinamis serta pertumbuhan sektor moneter yang fantastis, bisa ambruk dalam waktu sekejap. Tapi, itulah kenyataannya.
                Celakanya, kenyataan itu terlalu pahit untuk diterima. Dampaknya sungguh berat bagi rakyat kecil, sehingga terlalu rendah jika kita hanya pasrah menerima kenyataan itu tanpa berusaha menelaah secara sungguh-sungguh faktor-faktor penyebab kebangkrutan ekonomi tersebut. Lihat saja, akibat dari krisis itu nilai rupiah merosot drastis sebesar 85 % dari nilai semula antara Juli 1997 dan Februari 1998). Pada akhir Desember 1998, inflasi yang terjadi (dibandingkan satu tahun sebelumnya) mencapai 77,6 %, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, yakni 6,5 % di tahun 1996 dan 10,3 % untuk tahun 1997. Sektor perbankan  mengalami dampak paling parah dari krisis ini, sehingga mengalami penurunan output antara 27 % hingga 40 %. Tidak itu saja dampaknya kemudian seluruh industri perbankan diambil alih oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Menurut kesimpulan Bappenas (1999), akibat dari depresiasi nilai mata uang rupiah dan melonjaknya laju inflasi, menyebabkan permintaan domestik menurun tajam.
Akan tetapi, krisis ekonomi ini juga tidak hanya menyerang sektor moneter, tetapi juga melibas sektor rill dan jasa. Di sektor manufaktur, industri berat seperti bahan-bahan konstruksi, baja otomotif dan permesinan mengalami penurunan produksi terbesar. Akibat dari lumpuhnya sektor manufaktur terutama yang berbasis bahan baku impor ini, maka banyak sekali terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), dengan alasan efisiensi usaha. Menurut data yang dilansir oleh Dita Sari (Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia, FNPBI), dua puluh empat juta pekerja telah kehilangan pekerjaannya bulan Agustus 1998, (diperkirakan 6 juta buruh dari sektor pakaian, kulit dan tekstil telah di PHK). Harian Jakarta Post (29/12/98), melaporkan bahwa sekitar 38 juta buruh telah di PHK. Sebagai bahan perbandingan, buletin Pandangan, No. 601/Thn-XII/1999, menunjukkan bahwa jumlah pengangguran  telah meningkat dari 13,6 juta sebelum krisis menjadi 44 juta setelah krisis. Demikian juga dengan data Asia Pulse (28/12/98), yang menginformasikan bahwa 25 % dari seluruh jumlah buruh yang di PHK adalah dari sektor manufaktur, 19 % dari sektor konstruksi, 37 % dari sektor jasa, 10 % dari sektor perhotelan, 6 % dari sektor transportasi dan 3 % dari sektor keuangan.
Krisis ekonomi yang parah ini juga, telah menyebabkan jumlah pendapatan per kapita rakyat Indonesia anjlok dari US$ 1.200 menjadi US$ 500, sehingga mengakibatkan jumlah penduduk miskin meningkat dari 23 juta jiwa sebelum krisis menjadi 80 juta lebih setelah krisis (ini kalau mengikuti perhitungan BPS yang keaslihannya patut diragukan). Situasinya menjadi lebih parah ketika datang bencana alam El-Nino yang menyebabkan kegagalan panen petani sehingga pemerintah harus mengimpor 2 juta ton beras setahun.  Itupun belum cukup, karena diharuskan untuk memikul beban tanggungan hutang LN pemerintah dan swasta yang jumlahnya begitu besar. Menurut data terakhir yang dipublikasikan oleh Harian Kompas, jumlah utang LN telah mencapai angka US$ 153 milyar. Dengan jumlah utang sebesar itu, dapat dipastikan bahwa penyelesaian krisis ini ibarat tragedi Sisiphus dalam mitologi Yunani kuno. Besarnya hutang tersebut diikuti dengan terjadinya arus modal uang keluar yang mencapai US$ 12 milyar pada tahun anggaran 1997/98 dan terus berlanjut hingga mencapai angka lebih dari US$ 25 milyar (setara dengan 15-25 % PDB) pada tahun anggaran 1998/99. Padahal, jumlah arus bersih modal masuk pada tahun anggaran 1996/97 hanya mencapai US$ 13 milyar (Bappenas, 1999). Akan tetapi kalau kita melihat sumber lain maka besarnya arus uang yang keluar jauh lebih besar, yakni mencapai 147,6 % PDB (lihat tabel).


Tabel 1
Indikator Utang LN

Tahun
Utang
Pemerintah
(US$ milyar)
Utang Swasta (US$ milyar
Total Utang (US$ milyar)
Rasio Terhadap GDP (%)
Debt Service Ratio (%)
1991
    49.084
   23.900
  72,984
    62,5
      45
1992
    53.285
   30.600
  83.885
    57.3
      44
1993
    57.521
   32.000
  89.521
    61,9
      44
1994
    63.688
   37.800
101.488
    57.4
      46
1995
    64.410
   43.390
107.800
    53.6
      43
1996
    59.045
   55.400
114.445
    50.3
      41
1997
    63.462
   73.962
137.424
    63.9
      46
1998**
    60.449
   83.572
144.572
   147.6
      52
    Sumber : Media Indonesia, 27 Des. 1999

Angka-angka yang merefleksikan betapa dalamnya krisis ini sebenarnya masih harus ditambahkan dengan besarnya angka pelarian modal (capital flight) yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha domestik (terutama pengusaha keturunan Tionghoa), akibat dari gonjang-ganjing politik selama tahun 1998-1999. Ditaksir besarnya jumlah capital flight itu mencapai angka US$ 48 milyar, suatu jumlah yang besarnya setara dengan jumlah bantuan yang dijanjikan oleh IMF lewat prosedur letter of intent (LoI). Seolah tidak cukup,  kesulitan beruntun masih terus menerpa kehidupan rakyat  dengan melonjaknya tingkat inflasi yang mencapai angka 100 % lebih (kini turun tinggal 22 %) sehingga menyebabkan harga barang melambung tinggi tidak terkendali.
Jadi, akibat dari terpaan krisis ini, kehidupan rakyat benar-benar merosot hingga ke titik nol. Disatu sisi, daya beli rakyat benar-benar anjlok sementara di sisi lain, harga barang melambung tinggi tidak terbeli. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kita akan kehilangan satu generasi di masa datang akibat kekurangan gizi, kesehatan yang buruk dan pendidikan yang rendah
Lalu, bagaimana sikap rezim dalam usahanya untuk keluar dari jurang krisis maha berat ini? Bagaimana kiat atau strategi mereka dalam membebaskan rakyat dari himpitan krisis ekonomi yang maha dahsyat ini? Menurut saya, baik pemerintahan Soeharto, Habibie, hingga pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sekarang, mereka mempunyai kesamaan pandang, analisa dan strategi dalam menyikapi krisis ini  bahwa :
1.          Krisis ini disebabkan oleh krisis internal atau domestik, dalam arti fundamental ekonomi rapuh. Argumennya, bahwa sebagian besar tujuan pertumbuhan ekonomi diletakkan di atas pundak konglomerat yang umumnya bergerak di sektor industri berorientasi ekspor. Problemnya, industri-industri besar ini hampir sebagian besar menggunakan bahan baku impor, sehingga ketika nilai tukar dollar menguat terhadap rupiah, maka nilai bahan baku impor tersebut ikut melonjak tajam, sehingga otomatis perusahaan-perusahaan milik konglomerat ini mengalami kesulitan dalam hal produksi.
2.          Krisis ini disebabkan oleh penyakit KKN yang merasuki seluruh struktur pemerintahan rezim orde baru sehingga berdampak pada inkonsistensi dan salah urus manajemen pembangunan ekonomi. Akibat KKN ini, biaya produksi menjadi lebih tinggi karena pengusaha harus membayar biaya siluman kepada penguasa,  sehingga akibatnya perusahaan menjadi tidak efisien dan rapuh. Akibat dari KKN ini, maka banyak keputusan dalam perusahaan didasarkan atas pertimbangan politik, bukan atas dasar pertimbangan ekonomi.
3.          Krisis ini disebabkan oleh intervensi pemerintah yang sangat besar terhadap pasar, sehingga pasar menjadi terdistorsi. Intervensi pemerintah itu nampak dari adanya pemberian hak monopoli, oligopoli, kartel, proteksi dan fasilitas-fasilitas lainnya kepada pengusaha yang dekat dengan keluarga penguasa.
Dengan cara pandang seperti ini, maka ketiga pemerintahan itu (Soeharto, Habibie dan Gus Dur), memiliki cara dan strategi yang sama dalam menyelesaikan krisis ekonomi ini, yakni tunduk terhadap saran kebijakan IMF. Mengapa mereka tunduk pada saran kebijakan IMF? Pertama, karena IMF pun berpendapat sama, bahwa krisis yang menimpa Indonesia (dan Asia pada umumnya) merupakan krisis yang khas Asia, krisis yang muncul dari cara orang Asia berbisnis yang kental dengan praktek KKN; kedua, krisis yang memukul bangunan ekonomi Indonesia ini sungguh begitu dahsyat sehingga tak sepeser pun dana yang tersisa untuk menggerakkan kembali roda perekonomian kita, baik itu di sektor riil maupun di sektor jasa dan moneter. Bappenas (1990) menyebutkan bahwa besarnya arus modal bersih yang keluar hanya bisa ditutupi dengan dana-dana talangan yang dikucurkan oleh IMF. Ini artinya, tabungan kita sebenarnya nol.
Dengan kata lain, menurut pemerintah, mereka tidak punya pilihan lain kecuali tunduk dan patuh pada saran kebijakan IMF. Ketundukan dan kepatuhan mana, tidak semata-mata disebabkan oleh jumlah tabungan yang nol persen, tetapi juga karena adanya kesamaan teori/ideologi antara IMF dan ketiga pemerintahan yang ada. Padahal, seluruh saran kebijakan IMF itu merupakan materialisasi dari paket kebijakan neoliberal yang merupakan bentuk tertinggi dari imperialisme.

II. Mengenal Kebijakan Neoliberal
                Telah saya katakan bahwa, pemerintahan Gus Dur ini sesungguhnya hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh IMF, yakni melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten, seluruh paket kebijakan Neoliberal. Pertanyaannya sekarang, apa itu kebijakan neoliberal, point-point apa saja yang termuat dalam paket kebijakan neoliberal itu dan bagaimana akibat dari kebijakan tersebut terhadap rakyat. Untuk bisa menjelaskan secara jernih tetapi ringkas tentang arti dari Neoliberalisme, maka kita harus melakukan tinjauan historis singkat tentang perkembangan kapitalisme. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia (1997), “Neo” berarti kita sedang berbicara tentang satu jenis liberalisme yang baru.
Lalu, adakah jenis liberalisme yang “lama”?  Tentu ada, yang untuk kali pertama dipopulerkan oleh ahli filsafat etika dan ekonomi, Adam Smith, melalui bukunya yang terbit pada tahun 1776 dengan judul "The Wealth of Nations". Melalui bukunya itu, Smith menganjurkan satu bentuk perekonomian liberal dimana, campur-tangan pemerintah dalam bidang ekonomi ditiadakan. Menurut para pemikir liberal atau klasik, kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam persaingan bebas akan jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan daripada kalau segala sesuatu itu diatur pemerintah. Tidak ada pembatasan produksi, tidak ada halangan dalam perdagangan nasional maupun internasional, dan tidak ada tarif cukai. Smith menyatakan, “Perdagangan bebas adalah cara terbaik untuk pertumbuhan ekonomi satu negeri.” Peran pemerintah sebaiknya hanya dibatasi pada perbaikan prasarana pekerjaan umum, hukum, pertahanan, pendidikan dan jasa-jasa publik lainnya :

"Menurut sistem kebebasan alami, pihak penguasa hanya mempunyai tiga kewajiban yang harus dipenuhi; tiga kewajiban yang penting, memang, namun jelas dan tegas bagi pengertian umum: pertama, melindungi masyarakat dari tindak kekerasan dan invasi oleh negara lain; kedua, semaksimal mungkin melindungi tiap anggota masyarakat dari ketidakadilan atau penindasan oleh anggota masyarakat lainnya, atau dengan kata lain menegakkan pelaksanaan peradilan yang tepat; dan ketiga, menegakkan  serta mempertahankan karya dan lembaga masyarakat tertentu, yang tidak akan pernah dilakukan oleh individu atau sekelompok kecil individu; karena keuntungannya tidak akan pernah dapat mengganti biaya yang dikeluarkan individu atau kelompok kecil individu itu, meskipun langkah ini seringkali lebih bermanfaat daripada sekedar menutup beban biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat (James Riedel, 1992).

                Perekonomian liberal berjaya di Amerika Serikat sepanjang abad ke-18 dan awal abad ke-19. Lalu tibalah Depresi Besar di dekade 1930-an, seperti yang telah diramalkan akan menjadi nasib abadi kapitalisme. Pada masa depresi itu, keadaan ekonomi mengalami kontraksi yang sangat hebat di semua sektor (pertanian dan industri) dan terjadi pengangguran massal di mana-mana. Kapasitas produksi yang sudah terpasang menjadi tidak bermanfaat karena sebagian besar tidak bisa digunakan. Sebuah tabel yang disusun oleh PT Elsllworth, menggambarkan situasi depresi saat itu :

Tabel 1.
Beberapa indikator mengenai depresi tahun 1930-an di Amerika Serikat

Pendapatan Nasional
-                 Dari tahun 1929 pendapatan nasional merosot selama tiga tahun berturut-turut sebesar (sekitar minus 33% secara riil atau sekitar 50% secara nominal)

Produksi Industri
-                 Selama tiga tahun menjadi lebih dari 50% di bawah tingkat tahun 1929

Durable goods seperti mobil
-                 Selama 3 tahun hanya mencapai 1/4 dari tingkat pada tahun 1929

Impor
-                 Impor AS pada tahun 1929 berjumlah $4,4 miliar. Tahun 1932 turun drastis menjadi $1,3 miliar

Impor jasa-jasa
-           Dari $ 2 miliar tahun 1929 turun 50% menjadi $ 1 miliar tahun 1932

Pinjaman dari AS dan arus dana investasi dari AS ke luar negeri
-          Tahun 1927 - 1929 AS memberi pinjaman $ 978 juta. Tahun 1982 ada arus repatriasi ke AS sebesar $ 250 juta.
-          Kontraksi dana yang dibelanjakan dan diinvestasikan AS turun dari $ 7,4 miliar pada 1927-1929 menjadi $ 2,4 miliar, atau turun 68% dalam 3 tahun.
    Sumber : H. S, Kartadjoemena, 1996.
                                                                               
Menghadapi keadaan depresi besar itu, teori ekonomi klasik/liberal yang diformulasikan oleh Adam Smith dan terutama oleh Jean Baptiste Say, mengalami jalan buntu, dalam arti tidak mampu menjelaskan sebab-sebab terjadinya krisis sehingga tidak sanggup menunjukkan jalan keluarnya.
Dalam keadaan sekarat seperti itu, datanglah John Maynard Keynes, seorang ekonom asal Inggris,  dengan teorinya yang meyatakan bahwa, liberalisme bukanlah cara yang terbaik bagi pertumbuhan kapitalisme. Inti pendapatnya adalah bahwa full-employment (keadaan tanpa pengangguran) adalah hal yang perlu untuk pertumbuhan kapitalisme. Keadaan ini hanya akan dapat dicapai bila pemerintah dan bank sentral turut campur untuk menurunkan tingkat pengangguran. Menurut Keynes, pemerintah kemudian tidak hanya diharapkan menjaga ketertiban umum berdasarkan perangkat hukum, menyediakan prasarana ekonomi dan sosial yang memadai, melaksanakan program pemberantasan kemiskinan dan ketimpangan sosial  seperti yang dikatakan oleh Adam Smith tetapi juga, ikut secara langsung dalam investasi di bidang industri seperti semen, pupuk, bahkan juga di bidang perhotelan dan barang-barang konsumsi seperti tekstil, tepung terigu, dan minyak goreng. Dengan adanya campur tangan pemerintah ini, maka sirkulasi ekonomi kembali bergerak keluar dari jebakan krisis. Ide ini amat mempengaruhi presiden AS, Franklin Delano (FD) Roosevelt, sehingga ia membuat program New Deal di tahun 1935 –program yang benar-benar meningkatkan kesejahteraan banyak orang. Kepercayaan bahwa pemerintah harus memajukan kesejahteraan bersama akhirnya diterima di mana-mana.
                 Tetapi, pendekatan Keynesian ini sebenarnya hanya memberikan sedikit waktu kepada kapitalisme untuk bernafas, pendekatan ini hanya sanggup mengalirkan darah segar ke jantung kapitalisme yang saat itu sudah sekarat. Sebab, kemudian terbukti bahwa pendekatan Keynesian ini tidak sanggup  melepaskan kapitalisme dari lingkaran kontradiksi internalnya sendiri. Penjelasan singkatnya, intervensi negara yang dianjurkan oleh Keynes guna merangsang dan menggerakkan kembali roda perekonomian yang macet akibat depresi besar (great depression) dan atau untuk mencegah berulangnya kembali krisis ekonomi, hanya akan menjadi sangat efektif, jika terjadi pertumbuhan ekonomi tinggi terus-menerus dan berkesinambungan. Dimana, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan itu hanya bisa terjadi, jika ada kebebasan berekspansi, kebebasan pasar dan upah buruh murah. Sebab, adalah mustahil bagi pemerintah/negara untuk memberlakukan jaminan sosial, seperti tunjangan kesehatan, pendidikan, jaminan pekerjaan dan jaminan hari tua, dimana hal itu tidak boleh sedikitpun menggerogoti keuntungan kaum kaya, tanpa adanya pertumbuhan. Namun demikian, justru kebebasan pasar, kebebasan berekspansi dan upah buruh murah, hanya mungkin terjadi jika intervensi pemerintah semakin minimal terhadap pasar. Sebab, menurut kepercayaan ekonomi pasar, intervensi pemerintah menjadi penyebab utama distorsi dan  inkonsistensi  dalam pasar. Di sinilah letak kegagalan dari teori Keynes itu.
                Demikianlah,  seperti yang sudah menjadi takdir abadi kapitalisme untuk tidak pernah terbebaskan dari belenggu krisisnya, maka menjelang akhir 1970-an, semakin  menjadi jelas bagi kaum kapitalis bahwa intervensi atau campur tangan negara/pemerintah justru menjadi penghalang utama bagi mereka untuk melipatgandakan akumulasi modal. Fakta menunjukkan bahwa selama 25 tahun terakhir, keuntungan kaum kapitalis menurun drastis. Menurut keyakinan baru ini, seharusnya perekonomian menjadi lebih terbuka bagi kompetisi dan lebih dideregulasi, sehingga industri lokal dan bank-bank lokal akan lebih baik posisisinya. 
                Di lain pihak, sebagai dampak dari pendekatan Keynesian, gerakan rakyat seperti ; serikat buruh, serikat tani, kaum perempuan, gerakan lingkungan dan mahasiswa semakin menguat. Ini mengakibatkan munculnya perlawanan-perlawanan rakyat terhadap eksploitasi kapitalisme tersebut. Tercatat, dalam waktu kurang dari 30 tahun, lingkaran kerja internasional dari buruh, perempuan, mahasiswa, petani dan pro-lingkungan memberontak pada tahun 1960-an dan 1970-an mengakhiri pendekatan Keynesian. Gerakan buruh yang kuat yang menuntut kenaikan upah akhirnya memperlambat pertumbuhan produktivitas dan keuntungan, sehingga hal ini menyebabkan terputusnya kerja yang semata-mata mengejar  produktivitas dan keuntungan pada akhir perang dunia ke II. Perempuan berjalan ke depan menolak kekuasaan patriarkhi di dalam rumah dan berjuang untuk mendapatkan akses dan pendapatan serta hak menentukan nasib sendiri. Mahasiswa, seringkali mencontoh sikap ibu mereka, mengubah kewenangan di sekolah dan di pemerintah dengan menuntut hak-hak untuk menyokong kepentingan mereka sendiri dan menolak untuk dikirimkan ke kancah perang imperialis. Petani berjuang untuk menjaga dan meng-klaim kembali kepemilikan tanah mereka dan menolak dipekerjakan paksa dengan upah rendah dan resiko kerja yang tinggi di kota yang terasing. Kelompok pecinta lingkungan mengubah definisi kapitalisme mengenai eksploitasi alam sebagai obyek semata-mata dan mendesakkan terciptanya hubungan yang lebih harmonis dengan semua elemen di seluruh dunia yang memiliki kewajaran dan secara tetap dibangun kembali.
Singkatnya,  pendekatan Keynesian akhirnya bangkrut dan pandangan yang menganggap bahwa campur tangan pemerintah sanggup menggerakkan roda pembangunan ekonomi dan menjauhkan kapitalisme dari jebakan krisis, telah ditolak mentah-mentah. Menurut keyakinan yang baru ini, hanya dengan meletakkan pengambilan keputusan ekonomi pada mekanisme pasar, maka pertumbuhan, pemerataan dan peningkatan kesejahteraan buruh menjadi terjamin. Tidak ada pertumbuhan tanpa pasar bebas. Posisi inilah yang secara provokatif diambil oleh R. William Liddle, dimana ia mengatakan, bahwa "di dalam konsensus baru ini, diakui bahwa peran pokok harus dimainkan oleh pasar, sebab pasar adalah sumber utama pertumbuhan".
Tetapi, dengan cara bagaimana kapitalisme merestorasi dirinya agar tidak terjebak dalam depresi besar? Dengan cara apa kaum kapitalis hendak mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya? Tidak lain, dengan cara menghidupkan kembali liberalisme ekonomi. Di bawah komando Bank Dunia dan IMF, mulai digulirkan sebuah kebijakan baru dalam pembangunan ekonomi, yang disebut ortodoksi baru (New orthodoxy) yang unsur-unsur pokoknya adalah sebagai berikut : pertama, kebijakan ekonomi makro yang non-inflantionary (defisit anggaran yang kecil dan kebijakan moneter yang hati-hati); kedua, lebih terbuka terhadap perdagangan dan penanaman modal luar negeri; dan ketiga, lebih mengandalkan pada kekuatan pasar dalam pengalokasian sumber daya manusia. Kebijakan new orthodoxy atau ortodoksi baru inilah, yang kemudian oleh Subcommandante Marcos, pemimpin gerilyawan Zapatista di Meksiko, disebutnya sebagai kebijakan Neoliberal, atau Liberalisme Baru.  Dan ketika kebijakan ini diterapkan, neoliberalisme  memiliki bebarapa nama alias, seperti : Reaganomics, Thatcherism, supply-side economics, monetarism, new classical economics, shock therapy dan structural adjustment. Dengan demikian, jika kita merunut pada sejarahnya, tidaklah keliru jika Harry Cleaver, mengatakan bahwa  Neoliberalisme adalah variasi dari liberalisme klasik di abad 19 ketika  Inggris dan imperialisme lainnya menggunakan ideologi kompetisi pasar dan perdagangan bebas untuk membangun kapitalisme di negara mereka sendiri dan negeri jajahan mereka di seluruh dunia.
Tetapi, apa sebenarnya substansi dasar yang membedakan antara liberalisme lama dengan liberalisme baru? Bukankah kedua-duanya sama menghendaki agar intervensi pemerintah terhadap pasar menjadi minimal bahkan dihilangkan? Doug Lorimer, memberikan jawabannya kepada kita, bahwa dalam liberalisme lama yang terjadi adalah internasionalisasi produksi dan penjualan komoditi sedangkan dalam liberalisme baru yang terjadi adalah internasionalisasi kekuasaan mengendalikan modal. Bahwa yang pertama, dapat dicontohkan sebagai berikut : jika dua negara Indonesia dan Brasil, dimana Indonesia adalah produsen cengkeh dan Brasil adalah produksi kopi, maka dalam liberalisme lama, Indonesia akan mengekspor cengkeh ke Brasil demikian pula sebaliknya, Brasil mengekspor kopi ke Indonesia. Hingga menjelang PD I, internasionalisasi produksi dan penjualan komoditi ini meningkat dari sejak awal abad 19 sampai permulaan Perang Dunia I (waktu itu, ekspor meningkat dari dari 3% dari output seluruh dunia pada tahun 1800 menjadi 16% pada tahun 1913). Keadaan ini jatuh lagi selama gelombang depresi panjang terutama antara tahun-tahun dua Perang Dunia dari 1913 sampai 1939. Angka Ini mulai mendaki lagi pada periode setelah Perang Dunia II --tetapi hanya mencapai 15 % dari output dunia pada tahun 1990. Hal yang mirip, stok investasi langsung dunia yang terakumulasi pada tahun 1913, ekuivalen dengan 12% output seluruh dunia, tetapi kemudian mengalami kemunduran di masa tahun-tahun  antar dua Perang Dunia; tahun 1990, masih tetap tidak lebih dari 10%. Tetapi, setelah Perang Dunia II, yang terjadi bukan lagi intensifikasi internasionalisasi produksi dan penjualan komoditi, tetapi ekspor modal oleh satu atau beberapa perusahan multinasional yang berbasis di negara-negara induk kapitalis. Caranya adalah dengan mendirikan perusahaan-perusahaan di negara asing sebagai anak cabang mereka atau bekerja sama dengan perusahaan di negara asing (joint venture), atau dengan cara  membeli perusahaan-perusahaan manufaktur asing. Dengan penerapan kebijakan neoliberal ini, maka transaksi dagang tidak lagi antara satu negara dengan negara lain, tetapi antara sesama kapitalis, sehingga itu disebutkan bahwa akibat dari kebijakan neoliberal ini maka tidak ada lagi batas negara. Kekuasaan benar-benar ada dalam tangannya kaum kapitalis sedangkan negara hanya menjadi pelayan dan pembantu bagi kaum kapitalis dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan kelas buruh setempat. Sejak tahun 1960-an, keadaan ini semakin menjadi fenomena umum bagi pemodal  besar di seluruh negara-negara kapitalis maju, yang mana untuk pertama kalinya secara aktual mencetak semua frame-work internasional dengan cepat bagi persaingan modal.
Setelah kita mengetahui sejarah lahirnya kebijakan neoliberal, maka tibalah saatnya bagi kita sekarang untuk mengetahui apa arti atau definisi dari neoliberalisme itu sendiri.  Teori neoliberal, pertama-tama diformulasikan atau dikembangkan oleh Milton Friedman, seorang ahli ekonomi dari Universitas Chicago, AS,  yang berarti pemutusan hubungan secara radikal aturan negara terhadap mesin pertumbuhan ekonomi, dikuranginya kontrol dan pengetatan perdagangan internasional, penyesuaian tingkat pertukaran, dihapuskannya intervensi negara terhadap pasar domestik dan liberalisasi pasar finansial. Kebijakan ini  menjadi populer dan lebih populer di Amerika Latin, sejak tahun 1970-an dan khususnya tahun 1980-an secara konkrit mendorong kebijakan penyesuaian  di seluruh negara-negara Amerika Latin. Sedangkan, menurut Paul Hirst dan Graham Thompson, neoliberalisme berarti membuat pasar bebas dari politik serta membiarkan perusahaan-perusahaan besar dan pasar-pasar mengalokasikan (menempatkan, menata atau mengatur) faktor-faktor produksinya sampai tingkat yang tertinggi tanpa campur tangan negara. Menurut pengertian ini, peran negara/pemerintah hanya menjadi pelengkap atau pengganti dari pemain-pemain bisnis utama dimana tugasnya adalah menyediakan dan mengusahakan tertib politik dan hukum untuk sebesar-besarnya kepentingan kaum kapitalis: yakni eksploitasi, konsentrasi dan akumulasi modal.  Secara lebih radikal lagi, Jesuit Provinsial Amerika Latin, dalam kertas kerjanya menyatakan bahwa, neoliberalisme menghendaki agar hidup manusia, fungsi masyarakat dan kebijakan pemerintah di tundukkan pada pasar. Pasar absolut ini tak mengizinkan regulasi dari sumber lain.
Karena tujuannya hanya semata-mata untuk akumulasi dan konsentrasi modal, maka sangatlah tepat definisi neoliberal yang dibuat oleh Subcomandante Marcos dalam Encuentro Intercontinentale por la Humanidady contra el Neo-liberalisme (Pertemuan Antar-benua untuk Kemanusiaan dan perlawanan terhadap Neo-liberalisme) yang disponsori oleh Zapatista, Agustus 1996 di Chiapas,  salah satu negara bagian Meksiko. Dalam pertemuan itu,  ia menyatakan,   ”Apa yang ditawarkan oleh Kaum Kanan adalah mengubah dunia menjadi satu mall yang besar di mana mereka dapat membeli Indian di sini, membeli wanita di sana…” dan ia menambahkan, “anak-anak, imigran, kaum buruh, bahkan sebuah negeri seperti Mexico.”


0 komentar:

FPBI

FPBI