Sebuah Pengantar
Oleh : Coen Husain Pontoh
I. Sekilas Tentang Krisis Ekonomi
Rezim
orde baru ternyata tidak hanya melakukan
manipulasi di bidang politik, tetapi juga telah menjerumuskan negeri ini ke
dalam jurang krisis ekonomi yang sangat parah. Manipulasi ekonomi itu nampak
dari publikasi data-data yang tidak akurat sehingga menutupi kenyataan yang
sesungguhnya. Itu sebabnya, hampir tidak ada yang percaya bahwa perekonomian
Indonesia yang tumbuh sekitar 6-7 persen per tahun, pergerakan sektor riil dan
jasa yang dinamis serta pertumbuhan sektor moneter yang fantastis, bisa ambruk
dalam waktu sekejap. Tapi, itulah kenyataannya.
Celakanya,
kenyataan itu terlalu pahit untuk diterima. Dampaknya sungguh berat bagi rakyat
kecil, sehingga terlalu rendah jika kita hanya pasrah menerima kenyataan itu
tanpa berusaha menelaah secara sungguh-sungguh faktor-faktor penyebab
kebangkrutan ekonomi tersebut. Lihat saja, akibat dari krisis itu nilai rupiah
merosot drastis sebesar 85 % dari nilai semula antara Juli 1997 dan Februari
1998). Pada akhir Desember 1998, inflasi yang terjadi (dibandingkan satu tahun
sebelumnya) mencapai 77,6 %, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi yang
terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, yakni 6,5 % di tahun 1996 dan 10,3 % untuk
tahun 1997. Sektor perbankan mengalami
dampak paling parah dari krisis ini, sehingga mengalami penurunan output antara
27 % hingga 40 %. Tidak itu saja dampaknya kemudian seluruh industri perbankan
diambil alih oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Menurut
kesimpulan Bappenas (1999), akibat dari depresiasi nilai mata uang rupiah dan
melonjaknya laju inflasi, menyebabkan permintaan domestik menurun tajam.
Akan tetapi, krisis ekonomi ini juga tidak
hanya menyerang sektor moneter, tetapi juga melibas sektor rill dan jasa. Di
sektor manufaktur, industri berat seperti bahan-bahan konstruksi, baja otomotif
dan permesinan mengalami penurunan produksi terbesar. Akibat dari lumpuhnya
sektor manufaktur terutama yang berbasis bahan baku impor ini, maka banyak
sekali terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), dengan alasan efisiensi usaha.
Menurut data yang dilansir oleh Dita Sari (Ketua Umum Front Nasional Perjuangan
Buruh Indonesia, FNPBI), dua puluh empat juta pekerja telah kehilangan
pekerjaannya bulan Agustus 1998, (diperkirakan 6 juta buruh dari sektor pakaian,
kulit dan tekstil telah di PHK). Harian Jakarta Post (29/12/98),
melaporkan bahwa sekitar 38 juta buruh telah di PHK. Sebagai bahan
perbandingan, buletin Pandangan, No. 601/Thn-XII/1999, menunjukkan bahwa
jumlah pengangguran telah meningkat dari
13,6 juta sebelum krisis menjadi 44 juta setelah krisis. Demikian juga dengan
data Asia Pulse (28/12/98), yang menginformasikan bahwa 25 % dari
seluruh jumlah buruh yang di PHK adalah dari sektor manufaktur, 19 % dari
sektor konstruksi, 37 % dari sektor jasa, 10 % dari sektor perhotelan, 6 % dari
sektor transportasi dan 3 % dari sektor keuangan.
Krisis
ekonomi yang parah ini juga, telah menyebabkan jumlah pendapatan per kapita
rakyat Indonesia anjlok dari US$ 1.200 menjadi US$ 500, sehingga mengakibatkan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 23 juta jiwa sebelum krisis menjadi 80
juta lebih setelah krisis (ini kalau mengikuti perhitungan BPS yang
keaslihannya patut diragukan). Situasinya menjadi lebih parah ketika datang
bencana alam El-Nino yang menyebabkan kegagalan panen petani sehingga
pemerintah harus mengimpor 2 juta ton beras setahun. Itupun belum cukup, karena diharuskan untuk
memikul beban tanggungan hutang LN pemerintah dan swasta yang jumlahnya begitu
besar. Menurut data terakhir yang dipublikasikan oleh Harian Kompas, jumlah utang LN telah mencapai angka US$ 153 milyar.
Dengan jumlah utang sebesar itu, dapat dipastikan bahwa penyelesaian krisis ini
ibarat tragedi Sisiphus dalam mitologi Yunani kuno. Besarnya hutang tersebut
diikuti dengan terjadinya arus modal uang keluar yang mencapai US$ 12 milyar
pada tahun anggaran 1997/98 dan terus berlanjut hingga mencapai angka lebih
dari US$ 25 milyar (setara dengan 15-25 % PDB) pada tahun anggaran 1998/99.
Padahal, jumlah arus bersih modal masuk pada tahun anggaran 1996/97 hanya
mencapai US$ 13 milyar (Bappenas, 1999). Akan tetapi kalau kita melihat sumber
lain maka besarnya arus uang yang keluar jauh lebih besar, yakni mencapai 147,6
% PDB (lihat tabel).
Tabel 1
Indikator Utang LN
Tahun
|
Utang
Pemerintah
(US$ milyar)
|
Utang Swasta (US$ milyar
|
Total Utang (US$ milyar)
|
Rasio Terhadap GDP (%)
|
Debt Service Ratio (%)
|
1991
|
49.084
|
23.900
|
72,984
|
62,5
|
45
|
1992
|
53.285
|
30.600
|
83.885
|
57.3
|
44
|
1993
|
57.521
|
32.000
|
89.521
|
61,9
|
44
|
1994
|
63.688
|
37.800
|
101.488
|
57.4
|
46
|
1995
|
64.410
|
43.390
|
107.800
|
53.6
|
43
|
1996
|
59.045
|
55.400
|
114.445
|
50.3
|
41
|
1997
|
63.462
|
73.962
|
137.424
|
63.9
|
46
|
1998**
|
60.449
|
83.572
|
144.572
|
147.6
|
52
|
Sumber : Media
Indonesia, 27 Des. 1999
Angka-angka yang merefleksikan betapa
dalamnya krisis ini sebenarnya masih harus ditambahkan dengan besarnya angka
pelarian modal (capital flight) yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha
domestik (terutama pengusaha keturunan Tionghoa), akibat dari gonjang-ganjing
politik selama tahun 1998-1999. Ditaksir besarnya jumlah capital flight itu
mencapai angka US$ 48 milyar, suatu jumlah yang besarnya setara dengan jumlah
bantuan yang dijanjikan oleh IMF lewat prosedur letter of intent (LoI).
Seolah tidak cukup, kesulitan beruntun
masih terus menerpa kehidupan rakyat
dengan melonjaknya tingkat inflasi yang mencapai angka 100 % lebih (kini
turun tinggal 22 %) sehingga menyebabkan harga barang melambung tinggi tidak
terkendali.
Jadi, akibat dari terpaan krisis ini, kehidupan rakyat
benar-benar merosot hingga ke titik nol. Disatu sisi, daya beli rakyat
benar-benar anjlok sementara di sisi lain, harga barang melambung tinggi tidak
terbeli. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kita akan kehilangan satu
generasi di masa datang akibat kekurangan gizi, kesehatan yang buruk dan
pendidikan yang rendah
Lalu,
bagaimana sikap rezim dalam usahanya untuk keluar dari jurang krisis maha berat
ini? Bagaimana kiat atau strategi mereka dalam membebaskan rakyat dari himpitan
krisis ekonomi yang maha dahsyat ini? Menurut saya, baik pemerintahan Soeharto,
Habibie, hingga pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sekarang, mereka
mempunyai kesamaan pandang, analisa dan strategi dalam menyikapi krisis ini bahwa :
1.
Krisis ini disebabkan
oleh krisis internal atau domestik, dalam arti fundamental ekonomi rapuh.
Argumennya, bahwa sebagian besar tujuan pertumbuhan ekonomi diletakkan di atas
pundak konglomerat yang umumnya bergerak di sektor industri berorientasi
ekspor. Problemnya, industri-industri besar ini hampir sebagian besar
menggunakan bahan baku impor, sehingga ketika nilai tukar dollar menguat
terhadap rupiah, maka nilai bahan baku impor tersebut ikut melonjak tajam,
sehingga otomatis perusahaan-perusahaan milik konglomerat ini mengalami
kesulitan dalam hal produksi.
2.
Krisis ini disebabkan
oleh penyakit KKN yang merasuki seluruh struktur pemerintahan rezim orde baru
sehingga berdampak pada inkonsistensi dan salah urus manajemen pembangunan
ekonomi. Akibat KKN ini, biaya produksi menjadi lebih tinggi karena pengusaha
harus membayar biaya siluman kepada penguasa,
sehingga akibatnya perusahaan menjadi tidak efisien dan rapuh. Akibat
dari KKN ini, maka banyak keputusan dalam perusahaan didasarkan atas
pertimbangan politik, bukan atas dasar pertimbangan ekonomi.
3.
Krisis ini disebabkan
oleh intervensi pemerintah yang sangat besar terhadap pasar, sehingga pasar
menjadi terdistorsi. Intervensi pemerintah itu nampak dari adanya pemberian hak
monopoli, oligopoli, kartel, proteksi dan fasilitas-fasilitas lainnya kepada
pengusaha yang dekat dengan keluarga penguasa.
Dengan
cara pandang seperti ini, maka ketiga pemerintahan itu (Soeharto, Habibie dan
Gus Dur), memiliki cara dan strategi yang sama dalam menyelesaikan krisis
ekonomi ini, yakni tunduk terhadap saran kebijakan IMF. Mengapa mereka tunduk
pada saran kebijakan IMF? Pertama,
karena IMF pun berpendapat sama, bahwa krisis yang menimpa Indonesia (dan Asia
pada umumnya) merupakan krisis yang khas Asia, krisis yang muncul dari cara
orang Asia berbisnis yang kental dengan praktek KKN; kedua, krisis yang memukul bangunan ekonomi Indonesia ini sungguh
begitu dahsyat sehingga tak sepeser pun dana yang tersisa untuk menggerakkan
kembali roda perekonomian kita, baik itu di sektor riil maupun di sektor jasa
dan moneter. Bappenas (1990) menyebutkan bahwa besarnya arus modal bersih yang
keluar hanya bisa ditutupi dengan dana-dana talangan yang dikucurkan oleh IMF.
Ini artinya, tabungan kita sebenarnya nol.
Dengan
kata lain, menurut pemerintah, mereka tidak punya pilihan lain kecuali tunduk
dan patuh pada saran kebijakan IMF. Ketundukan dan kepatuhan mana, tidak
semata-mata disebabkan oleh jumlah tabungan yang nol persen, tetapi juga karena
adanya kesamaan teori/ideologi antara IMF dan ketiga pemerintahan yang ada.
Padahal, seluruh saran kebijakan IMF itu merupakan materialisasi dari paket
kebijakan neoliberal yang merupakan bentuk tertinggi dari imperialisme.
II. Mengenal Kebijakan Neoliberal
Telah
saya katakan bahwa, pemerintahan Gus Dur ini sesungguhnya hanya mengikuti apa
yang diperintahkan oleh IMF, yakni melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan
konsisten, seluruh paket kebijakan Neoliberal. Pertanyaannya sekarang, apa itu
kebijakan neoliberal, point-point apa saja yang termuat dalam paket kebijakan
neoliberal itu dan bagaimana akibat dari kebijakan tersebut terhadap rakyat.
Untuk bisa menjelaskan secara jernih tetapi ringkas tentang arti dari
Neoliberalisme, maka kita harus melakukan tinjauan historis singkat tentang
perkembangan kapitalisme. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Elizabeth Martinez
dan Arnoldo Garcia (1997), “Neo” berarti kita sedang berbicara tentang satu
jenis liberalisme yang baru.
Lalu, adakah jenis liberalisme yang
“lama”? Tentu ada, yang untuk kali
pertama dipopulerkan oleh ahli filsafat etika dan ekonomi, Adam Smith, melalui
bukunya yang terbit pada tahun 1776 dengan judul "The Wealth of
Nations". Melalui bukunya itu, Smith menganjurkan satu bentuk
perekonomian liberal dimana, campur-tangan pemerintah dalam bidang ekonomi
ditiadakan. Menurut para pemikir liberal atau klasik, kegiatan ekonomi yang
dilakukan dalam persaingan bebas akan jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat
secara keseluruhan daripada kalau segala sesuatu itu diatur pemerintah. Tidak
ada pembatasan produksi, tidak ada halangan dalam perdagangan nasional maupun
internasional, dan tidak ada tarif cukai. Smith menyatakan, “Perdagangan bebas
adalah cara terbaik untuk pertumbuhan ekonomi satu negeri.” Peran pemerintah
sebaiknya hanya dibatasi pada perbaikan prasarana pekerjaan umum, hukum,
pertahanan, pendidikan dan jasa-jasa publik lainnya :
"Menurut sistem kebebasan alami,
pihak penguasa hanya mempunyai tiga kewajiban yang harus dipenuhi; tiga
kewajiban yang penting, memang, namun jelas dan tegas bagi pengertian umum:
pertama, melindungi masyarakat dari tindak kekerasan dan invasi oleh negara
lain; kedua, semaksimal mungkin melindungi tiap anggota masyarakat dari
ketidakadilan atau penindasan oleh anggota masyarakat lainnya, atau dengan kata
lain menegakkan pelaksanaan peradilan yang tepat; dan ketiga, menegakkan serta mempertahankan karya dan lembaga
masyarakat tertentu, yang tidak akan pernah dilakukan oleh individu atau
sekelompok kecil individu; karena keuntungannya tidak akan pernah dapat
mengganti biaya yang dikeluarkan individu atau kelompok kecil individu itu,
meskipun langkah ini seringkali lebih bermanfaat daripada sekedar menutup beban
biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat (James Riedel, 1992).
Perekonomian
liberal berjaya di Amerika Serikat sepanjang abad ke-18 dan awal abad ke-19.
Lalu tibalah Depresi Besar di dekade 1930-an, seperti yang telah diramalkan
akan menjadi nasib abadi kapitalisme. Pada masa depresi itu, keadaan ekonomi
mengalami kontraksi yang sangat hebat di semua sektor (pertanian dan industri)
dan terjadi pengangguran massal di mana-mana. Kapasitas produksi yang sudah
terpasang menjadi tidak bermanfaat karena sebagian besar tidak bisa digunakan.
Sebuah tabel yang disusun oleh PT Elsllworth, menggambarkan situasi depresi
saat itu :
Tabel 1.
Beberapa indikator mengenai depresi tahun 1930-an di
Amerika Serikat
Pendapatan Nasional
|
-
Dari
tahun 1929 pendapatan nasional merosot selama tiga tahun berturut-turut
sebesar (sekitar minus 33% secara riil atau sekitar 50% secara nominal)
|
Produksi Industri
|
-
Selama
tiga tahun menjadi lebih dari 50% di bawah tingkat tahun 1929
|
Durable goods seperti mobil
|
-
Selama
3 tahun hanya mencapai 1/4 dari tingkat pada tahun 1929
|
Impor
|
-
Impor
AS pada tahun 1929 berjumlah $4,4 miliar. Tahun 1932 turun drastis menjadi
$1,3 miliar
|
Impor jasa-jasa
|
-
Dari $ 2 miliar tahun 1929 turun 50%
menjadi $ 1 miliar tahun 1932
|
Pinjaman dari AS dan arus dana investasi dari AS ke
luar negeri
|
-
Tahun
1927 - 1929 AS memberi pinjaman $ 978 juta. Tahun 1982 ada arus repatriasi ke
AS sebesar $ 250 juta.
-
Kontraksi
dana yang dibelanjakan dan diinvestasikan AS turun dari $ 7,4 miliar pada
1927-1929 menjadi $ 2,4 miliar, atau turun 68% dalam 3 tahun.
|
Sumber : H. S, Kartadjoemena, 1996.
Menghadapi keadaan depresi besar itu, teori
ekonomi klasik/liberal yang diformulasikan oleh Adam Smith dan terutama oleh
Jean Baptiste Say, mengalami jalan buntu, dalam arti tidak mampu menjelaskan
sebab-sebab terjadinya krisis sehingga tidak sanggup menunjukkan jalan
keluarnya.
Dalam keadaan sekarat seperti itu, datanglah
John Maynard Keynes, seorang ekonom asal Inggris, dengan teorinya yang meyatakan bahwa,
liberalisme bukanlah cara yang terbaik bagi pertumbuhan kapitalisme. Inti
pendapatnya adalah bahwa full-employment (keadaan tanpa pengangguran)
adalah hal yang perlu untuk pertumbuhan kapitalisme. Keadaan ini hanya akan
dapat dicapai bila pemerintah dan bank sentral turut campur untuk menurunkan
tingkat pengangguran. Menurut Keynes, pemerintah kemudian tidak hanya
diharapkan menjaga ketertiban umum berdasarkan perangkat hukum, menyediakan
prasarana ekonomi dan sosial yang memadai, melaksanakan program pemberantasan
kemiskinan dan ketimpangan sosial
seperti yang dikatakan oleh Adam Smith tetapi juga, ikut secara langsung
dalam investasi di bidang industri seperti semen, pupuk, bahkan juga di bidang
perhotelan dan barang-barang konsumsi seperti tekstil, tepung terigu, dan
minyak goreng. Dengan adanya campur tangan pemerintah ini, maka sirkulasi
ekonomi kembali bergerak keluar dari jebakan krisis. Ide ini amat mempengaruhi
presiden AS, Franklin Delano (FD) Roosevelt, sehingga ia membuat program New
Deal di tahun 1935 –program yang benar-benar meningkatkan kesejahteraan
banyak orang. Kepercayaan bahwa pemerintah harus memajukan kesejahteraan
bersama akhirnya diterima di mana-mana.
Tetapi, pendekatan Keynesian ini sebenarnya
hanya memberikan sedikit waktu kepada kapitalisme untuk bernafas, pendekatan
ini hanya sanggup mengalirkan darah segar ke jantung kapitalisme yang saat itu
sudah sekarat. Sebab, kemudian terbukti bahwa pendekatan Keynesian ini tidak
sanggup melepaskan kapitalisme dari
lingkaran kontradiksi internalnya sendiri. Penjelasan singkatnya, intervensi
negara yang dianjurkan oleh Keynes guna merangsang dan menggerakkan kembali
roda perekonomian yang macet akibat depresi besar (great depression) dan
atau untuk mencegah berulangnya kembali krisis ekonomi, hanya akan menjadi
sangat efektif, jika terjadi pertumbuhan ekonomi tinggi terus-menerus dan
berkesinambungan. Dimana, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan itu
hanya bisa terjadi, jika ada kebebasan berekspansi, kebebasan pasar dan upah
buruh murah. Sebab, adalah mustahil bagi pemerintah/negara untuk memberlakukan
jaminan sosial, seperti tunjangan kesehatan, pendidikan, jaminan pekerjaan dan
jaminan hari tua, dimana hal itu tidak boleh sedikitpun menggerogoti keuntungan
kaum kaya, tanpa adanya pertumbuhan. Namun demikian, justru kebebasan pasar,
kebebasan berekspansi dan upah buruh murah, hanya mungkin terjadi jika
intervensi pemerintah semakin minimal terhadap pasar. Sebab, menurut
kepercayaan ekonomi pasar, intervensi pemerintah menjadi penyebab utama
distorsi dan inkonsistensi dalam pasar. Di sinilah letak kegagalan dari
teori Keynes itu.
Demikianlah, seperti yang sudah menjadi takdir abadi
kapitalisme untuk tidak pernah terbebaskan dari belenggu krisisnya, maka
menjelang akhir 1970-an, semakin menjadi
jelas bagi kaum kapitalis bahwa intervensi atau campur tangan negara/pemerintah
justru menjadi penghalang utama bagi mereka untuk melipatgandakan akumulasi
modal. Fakta menunjukkan bahwa selama 25 tahun terakhir, keuntungan kaum
kapitalis menurun drastis. Menurut keyakinan baru ini, seharusnya perekonomian
menjadi lebih terbuka bagi kompetisi dan lebih dideregulasi, sehingga industri
lokal dan bank-bank lokal akan lebih baik posisisinya.
Di
lain pihak, sebagai dampak dari pendekatan Keynesian, gerakan rakyat seperti ;
serikat buruh, serikat tani, kaum perempuan, gerakan lingkungan dan mahasiswa
semakin menguat. Ini mengakibatkan munculnya perlawanan-perlawanan rakyat
terhadap eksploitasi kapitalisme tersebut. Tercatat, dalam waktu kurang dari 30
tahun, lingkaran kerja internasional dari buruh, perempuan, mahasiswa, petani
dan pro-lingkungan memberontak pada tahun 1960-an dan 1970-an mengakhiri
pendekatan Keynesian. Gerakan buruh yang kuat yang menuntut kenaikan upah
akhirnya memperlambat pertumbuhan produktivitas dan keuntungan, sehingga hal
ini menyebabkan terputusnya kerja yang semata-mata mengejar produktivitas dan keuntungan pada akhir
perang dunia ke II. Perempuan berjalan ke depan menolak kekuasaan patriarkhi
di dalam rumah dan berjuang untuk mendapatkan akses dan pendapatan serta hak
menentukan nasib sendiri. Mahasiswa, seringkali mencontoh sikap ibu mereka,
mengubah kewenangan di sekolah dan di pemerintah dengan menuntut hak-hak untuk
menyokong kepentingan mereka sendiri dan menolak untuk dikirimkan ke kancah
perang imperialis. Petani berjuang untuk menjaga dan meng-klaim kembali
kepemilikan tanah mereka dan menolak dipekerjakan paksa dengan upah rendah dan
resiko kerja yang tinggi di kota yang terasing. Kelompok pecinta lingkungan
mengubah definisi kapitalisme mengenai eksploitasi alam sebagai obyek
semata-mata dan mendesakkan terciptanya hubungan yang lebih harmonis dengan
semua elemen di seluruh dunia yang memiliki kewajaran dan secara tetap dibangun
kembali.
Singkatnya,
pendekatan Keynesian akhirnya bangkrut dan pandangan yang menganggap
bahwa campur tangan pemerintah sanggup menggerakkan roda pembangunan ekonomi
dan menjauhkan kapitalisme dari jebakan krisis, telah ditolak mentah-mentah.
Menurut keyakinan yang baru ini, hanya dengan meletakkan pengambilan keputusan
ekonomi pada mekanisme pasar, maka pertumbuhan, pemerataan dan peningkatan
kesejahteraan buruh menjadi terjamin. Tidak ada pertumbuhan tanpa pasar bebas.
Posisi inilah yang secara provokatif diambil oleh R. William Liddle, dimana ia
mengatakan, bahwa "di dalam konsensus baru ini, diakui bahwa peran pokok
harus dimainkan oleh pasar, sebab pasar adalah sumber utama pertumbuhan".
Tetapi, dengan cara bagaimana kapitalisme
merestorasi dirinya agar tidak terjebak dalam depresi besar? Dengan cara apa
kaum kapitalis hendak mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya? Tidak lain,
dengan cara menghidupkan kembali liberalisme ekonomi. Di bawah komando Bank
Dunia dan IMF, mulai digulirkan sebuah kebijakan baru dalam pembangunan
ekonomi, yang disebut ortodoksi baru (New orthodoxy) yang
unsur-unsur pokoknya adalah sebagai berikut : pertama, kebijakan ekonomi
makro yang non-inflantionary (defisit anggaran yang kecil dan kebijakan
moneter yang hati-hati); kedua, lebih terbuka terhadap perdagangan dan
penanaman modal luar negeri; dan ketiga, lebih mengandalkan pada
kekuatan pasar dalam pengalokasian sumber daya manusia. Kebijakan new
orthodoxy atau ortodoksi baru inilah, yang kemudian oleh Subcommandante
Marcos, pemimpin gerilyawan Zapatista di Meksiko, disebutnya sebagai
kebijakan Neoliberal, atau Liberalisme Baru. Dan ketika kebijakan ini diterapkan,
neoliberalisme memiliki bebarapa nama
alias, seperti : Reaganomics, Thatcherism, supply-side economics,
monetarism, new classical economics, shock therapy dan structural adjustment.
Dengan demikian, jika kita merunut pada sejarahnya, tidaklah keliru jika Harry
Cleaver, mengatakan bahwa Neoliberalisme
adalah variasi dari liberalisme klasik di abad 19 ketika Inggris dan imperialisme lainnya menggunakan
ideologi kompetisi pasar dan perdagangan bebas untuk membangun kapitalisme di
negara mereka sendiri dan negeri jajahan mereka di seluruh dunia.
Tetapi, apa sebenarnya substansi dasar yang
membedakan antara liberalisme lama dengan liberalisme baru? Bukankah
kedua-duanya sama menghendaki agar intervensi pemerintah terhadap pasar menjadi
minimal bahkan dihilangkan? Doug Lorimer, memberikan jawabannya kepada kita,
bahwa dalam liberalisme lama yang terjadi adalah internasionalisasi
produksi dan penjualan komoditi sedangkan dalam liberalisme
baru yang terjadi adalah internasionalisasi kekuasaan mengendalikan modal.
Bahwa yang pertama, dapat dicontohkan sebagai berikut : jika dua negara
Indonesia dan Brasil, dimana Indonesia adalah produsen cengkeh dan Brasil
adalah produksi kopi, maka dalam liberalisme lama, Indonesia akan mengekspor
cengkeh ke Brasil demikian pula sebaliknya, Brasil mengekspor kopi ke
Indonesia. Hingga menjelang PD I, internasionalisasi produksi dan penjualan
komoditi ini meningkat dari sejak awal abad 19 sampai permulaan Perang Dunia I
(waktu itu, ekspor meningkat dari dari 3% dari output seluruh dunia pada tahun
1800 menjadi 16% pada tahun 1913). Keadaan ini jatuh lagi selama gelombang
depresi panjang terutama antara tahun-tahun dua Perang Dunia dari 1913 sampai
1939. Angka Ini mulai mendaki lagi pada periode setelah Perang Dunia II
--tetapi hanya mencapai 15 % dari output dunia pada tahun 1990. Hal yang mirip,
stok investasi langsung dunia yang terakumulasi pada tahun 1913, ekuivalen
dengan 12% output seluruh dunia, tetapi kemudian mengalami kemunduran di masa
tahun-tahun antar dua Perang Dunia;
tahun 1990, masih tetap tidak lebih dari 10%. Tetapi, setelah Perang Dunia II,
yang terjadi bukan lagi intensifikasi internasionalisasi produksi dan penjualan
komoditi, tetapi ekspor modal oleh satu atau beberapa perusahan multinasional
yang berbasis di negara-negara induk kapitalis. Caranya adalah dengan
mendirikan perusahaan-perusahaan di negara asing sebagai anak cabang mereka
atau bekerja sama dengan perusahaan di negara asing (joint venture), atau
dengan cara membeli
perusahaan-perusahaan manufaktur asing. Dengan penerapan kebijakan neoliberal
ini, maka transaksi dagang tidak lagi antara satu negara dengan negara lain,
tetapi antara sesama kapitalis, sehingga itu disebutkan bahwa akibat dari
kebijakan neoliberal ini maka tidak ada lagi batas negara. Kekuasaan
benar-benar ada dalam tangannya kaum kapitalis sedangkan negara hanya menjadi
pelayan dan pembantu bagi kaum kapitalis dalam mengeksploitasi sumber daya alam
dan kelas buruh setempat. Sejak tahun 1960-an, keadaan ini semakin menjadi
fenomena umum bagi pemodal besar di
seluruh negara-negara kapitalis maju, yang mana untuk pertama kalinya secara
aktual mencetak semua frame-work internasional dengan cepat bagi
persaingan modal.
Setelah kita mengetahui sejarah lahirnya
kebijakan neoliberal, maka tibalah saatnya bagi kita sekarang untuk mengetahui
apa arti atau definisi dari neoliberalisme itu sendiri. Teori neoliberal, pertama-tama diformulasikan
atau dikembangkan oleh Milton Friedman, seorang ahli ekonomi dari Universitas
Chicago, AS, yang berarti pemutusan
hubungan secara radikal aturan negara terhadap mesin pertumbuhan ekonomi,
dikuranginya kontrol dan pengetatan perdagangan internasional, penyesuaian
tingkat pertukaran, dihapuskannya intervensi negara terhadap pasar domestik dan
liberalisasi pasar finansial. Kebijakan ini
menjadi populer dan lebih populer di Amerika Latin, sejak tahun 1970-an
dan khususnya tahun 1980-an secara konkrit mendorong kebijakan penyesuaian di seluruh negara-negara Amerika Latin.
Sedangkan, menurut Paul Hirst dan Graham Thompson, neoliberalisme berarti
membuat pasar bebas dari politik serta membiarkan perusahaan-perusahaan besar
dan pasar-pasar mengalokasikan (menempatkan, menata atau mengatur) faktor-faktor
produksinya sampai tingkat yang tertinggi tanpa campur tangan negara. Menurut
pengertian ini, peran negara/pemerintah hanya menjadi pelengkap atau pengganti
dari pemain-pemain bisnis utama dimana tugasnya adalah menyediakan dan
mengusahakan tertib politik dan hukum untuk sebesar-besarnya kepentingan kaum
kapitalis: yakni eksploitasi, konsentrasi dan akumulasi modal. Secara lebih radikal lagi, Jesuit Provinsial
Amerika Latin, dalam kertas kerjanya menyatakan bahwa, neoliberalisme
menghendaki agar hidup manusia, fungsi masyarakat dan kebijakan pemerintah di
tundukkan pada pasar. Pasar absolut ini tak mengizinkan regulasi dari sumber
lain.
Karena tujuannya hanya semata-mata untuk
akumulasi dan konsentrasi modal, maka sangatlah tepat definisi neoliberal yang
dibuat oleh Subcomandante Marcos dalam Encuentro Intercontinentale por la
Humanidady contra el Neo-liberalisme (Pertemuan Antar-benua untuk
Kemanusiaan dan perlawanan terhadap Neo-liberalisme) yang disponsori oleh
Zapatista, Agustus 1996 di Chiapas,
salah satu negara bagian Meksiko. Dalam pertemuan itu, ia menyatakan, ”Apa yang ditawarkan oleh Kaum Kanan adalah
mengubah dunia menjadi satu mall yang besar di mana mereka dapat membeli
Indian di sini, membeli wanita di sana…” dan ia menambahkan, “anak-anak,
imigran, kaum buruh, bahkan sebuah negeri seperti Mexico.”
0 komentar:
Posting Komentar