Kamis, 28 Agustus 2014

MENGENAI KAPITALISME

1 komentar

Kapitalisme adalah sebuah sistim produksi komoditi (dagangan), di mana alat-alat produksi dimiliki secara pribadi oleh para pemilik modal (kapitalis), sementara buruh yang tidak memiliki apa-apa kecuali tenaganya, menjual tenaganya kepada para pemilik.

Skema sistim produksi kapitalisme demikian:

U - K - U+, U+ = U + n
U   =  uang
K   =  komoditi
n   =  nilai lebih

Uang tidak akan pernah menjadi modal jika siklus pertukaran komoditi K - U - K,. Siklus semacam itu bukanlah kapitalisme, perpuataran seperti itu seperti orang menjual radio untuk makan, uang hanya menjadi alat sirkulasi, atau alat pertukaran dan perantara. Uang akan menjadi modal ketika ia dipakai dalam tujuan menghisap tenaga kerja buruh, ketika ia digunakan untuk membeli alat-alat produksi -- barang-barang mentah -- dan membeli tenaga kerja buruh untuk produksi.
Dalam produksi kapitalisme uang  digunakan untuk membeli Komoditi -- dalam bentuk alat-alat produksi (modal konstan) dan tenaga kerja buruh (modal bergerak). Si buruh bekerja menghasilkan komoditi  baru  (K+) yang nilainya berbeda dengan komoditi semula (K). Selisih perbedaan nilai komoditi baru dengan komoditi sebelumnya itulah yang disebut dengan nilai lebih.
Mungkin akan lebih baik jika kita berikan ilustrasi sederhana.
Misalkan, seorang pemilik modal (kapitalis) memiliki uang sebagai modal sebesar Rp 20.000,-. Ia gunakan sebesar Rp 10.000 untuk membeli kain yang akan dijadikan sebuah baju (modal konstan). Ia juga gunakan uangnya sebersa Rp 10.000 untuk membeli tenaga kerja buruh (modal bergerak). Baju yang diproduki buruh seharga Rp 30.000. Nilai lebihnya sebesar Rp 30.000 - Rp 20.000 = Rp 10.000. Pertanyaannya, dari mana nilai lebih itu dihasilkan? Dari produksi. Tenaga kerja buruh telah merubah komoditi semula (kain) menjadi komoditi baru yang bernilai Rp 30.000 tersebut. Prosesnya demikian; ada kerja pokok si buruh, yakni waktu kerja yang dihabiskan oleh buruh untuk mendapatkan kebutuhannya. Waktu kerja pokok dihitung dari apa yang didapatnya, Rp 10.000 itulah. Ia bekerja, katakanlah 4 jam, untuk berproduksi membuat kain menjadi baju. Yang buruh hasilkan, sebenarnya, adalah Rp 20.000, yakni nilai yang ditambahkan oleh si buruh terhdap kain yang kemudian menjadi baju tersebut. Jika yang dihasilkan oleh buruh sebesar Rp 20.000, sementara yang ia dapatkan hanya Rp 20.000, maka waktu kerja pokok si buruh hanya 2 jam. Penjelasannya begini; ia hasilkan Rp 20.000 dalam 4 jam, untuk menghasilkan Rp 10.000 (hanya itu yang ia dapatkan) ia hanya butuh waktu 2 jam. Itu kerja pokok, yaitu, sekali lagi, kerja yang untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhannya. Sementara, 2 jam sisanya, ia abdikan untuk si pemilik modal, dirampas oleh si pemilik modal, karena itu haksi buruh. 2 jam sisa ini disebut kerja lebih.
Dari nilai lebih yang dirampas dari buruh -- karena dihasilkan oleh buruh -- kapitalis (pemilik modal) dapat menumpuk modal, memperluas, membangun pabrik-pabrik baru, membangun perdagangan-perdagangan baru, dsb. Proses tersebut dinamakan akumulasi modal.

Krisis kapitalisme

Pertentangan yang mendasar dalam sistim kapitalisme adalah bahwa produksi sifatnya sosial, produksi massal dan dikonsumsi orang banyak, sementara, kepemilikan terhadap alat-alat produksi dan hasil produksinya secara pribadi. Produksi terus-menerus mengalami spesialisasi; cabang-cabang produksi berkembang; perusahaan-perusahaan membesar (yang terus menyerap tenaga kerja buruh dalam jumlah yang terus meningkat); bahkan perusahaan-perusahaan tersebut kini berkaitan dengan pasar nasional dan internasional. Konsentrasi buruh yang semakin lama semakin besar memberikan kapitalisme watak sosialnya.
Sementara alat-alat produksi yang jumlahnya ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan pasti jutaan dan milyaran, yang idoperasikan oleh ratusan juta kaum buruh, dan produk yang dihasilkannya, dipunyai atau menjadi milik pribadi kapitalis.
Pertentangan tersebutlah yang selalu terus-menerus menyebabkan krisis kelebihan produksi. Komoditi diproduksi terus-menerus tidak terbatas, secara anarki tanpa perencanaan, demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya; produksi diperluas tanpa mempertimbangkan kebutuhan. Hingga pada suatu saat hasil produksi tidak terjual, karena daya beli menurun. Barang numpuk di gudang-gudang, PHK besar-besaran, nilai mata uang ambruk, inflasi, dsb.
Krisis kapitalisme beberapa kali terjadi secara periodik. Krisis pertama terjadi di Inggris pada tahun 1825. Dan pada tahun 1847-48 krisis menyapu seluruh AS dan beberapa negeri di Eropa. Krisis yang paling serius terjadi pada abad  19 adalah pada tahun 1873, yang kemudian mendorong peralihan kapitalisme dari pra-monopoli ke monopoli.

Kelahiran Kapitalisme

Umat manusia pernah mengenal sistim feodalisme beberapa abad yang lalu. Ia merupakan sebuah sistim  produksi, di mana alat-alat produksi dimiliki oleh tuan-tuan tanah, para bangsawan dan raja. Sementara kaum yang bekerja, berproduksi, adalah mereka yang disebut dengan hamba, yang sebagian besar adalah petani. Penindasan yang diderita oleh kaum hamba berlangsung dalam bentuk kerja wajib, di mana hamba mengerjakan milik tuan tanah, atau   sewa tanah -- hamba memberikan sebagian hasil produknya kepada tuan-tuan tanah. Perbedaanya dengan kapitalisme adalah surplus produk yang dirampas oleh para tuan tanah tidak dijual untuk profit, tapi lebih untuk kemewahan, kemegahan dan dihambur-hamburkan. Demikian pula bagi produsen, hasil produk tidak untuk dijual, tapi untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Penyebabnya adalah kekuatan produktif (teknologi, alat-alat produksi, keahlian, dsb.) sangat rendah, sehingga produktivitasnya rendah. Sistim produksi seperti ini dialami oleh sebagian besar Eropa, dan beberapa negeri Asia.
Sementara, di Nusantara (sekarang Indonesia) memiliki ciri yang berbeda. Yakni, pertama, di Eropa sebagian besar tanah-tanah dimiliki oleh para tuan tanah dan bangsawan lokal, bukan oleh raja. Para bangsawan dan tuan tanah memberikan upeti kepada para raja. Maka, tidak heran kebanyakan perebutan kekuasaan feodal berasal dari para tuan tanah dan bangsawan lokal, atau yang disebut dengan baron. Di Nusantara tanah sebagian besar dimiliki oleh raja, para bangsawan lokal hanya merupakan perpanjangan tangan raja. Makanya tidak heran, perebutan kekuasaan dilakukan bukan oleh para bengsawan lokal, tetapi, biasanya oleh kalangan kelurga kerajaan, atau peperangan dengan kerajaan lain. Kedua, para petani, bekerja dengan kerja wajib. Yakni kerja yang diberikan kepada para bangsawan dan raja, baik di dalam lingkup rumah tangga sang bansawan atau raja, maupun di tanah-tanah para bangsawan. Setelah sekian lama petani mengabdi pada majikan, ia kemudian “diberikan” tanah untuk diproduksi demi memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarganya. Siklusnye bergiliran.
Di samping sistim produksi feodal yang merupakan sistim produksi yang paling dominan, sistim produksi lain telah ada dan berkembang, yakni kerajinan  dan perdagangan, yang masih menjadi obyek wewenang para bangsawan. Artinya, bangsawan memegang kontrol terhadap aktivitas ekonomi lain secara tidak langsung -- para pemilik kerajinan  dan pedagang harus membayar upeti, pajak, dsb.
Di bawah feodalisme terjadi perkembangan tenaga-tenaga produktif; teknik-teknik produksi diperbaiki; alat-alat kerja besi dan baja mulai diperkenalkan secara intensif; alat-alat kerja kerajinan dan metode pemrosesan bahan mentah mengalami perbaikan (mulai menggunakan perapian, dsb); kerajinan mulai terspesialisasi. Gejala tersebut berkembang pada sekitar abad 15.
Seiring dengan perkembangan perdagangan dan kota-kota, pedesaan kini terseret masuk dalam ekonomi uang. Metode produksi di pedesaan berubah menjadi sewa tanah dengan uang, bukan dengan kerja, karena tuan-tuan tanah butuh uang untuk   kemewahan dan kemegahan. Eksploitasi feodalisme menjadi semakin intensif dengan berkembangnya sistim sewa uang.
Di sektor perdagangan, dengan ditemukannya benua-benua baru (Afrika, Amerika Latin, dan Asia) untuk pasar dan perampasan bahan-bahan mentah telah mendorong produksi kerajinan semakin berkembang; skala operasi produksi meluas karena meluasnya permintaan pasar. Ada satu gejala penting berkaitan dengan perkembangan perdagangan, yakni para pedagang mulai memegang kontrol terhadap produksi kerajinan dan pertanian. Mulanya, para pedagang hanya sebagai perantara dalam pertukaran komoditi. Tapi, lambat laun, karena mereka menguasai pasar dan bahan mentah, mereka menjadi dominan. Mereka telah menjadi pembeli sistimatis dari para produsen, baik pertanian maupun kerajinan. Mereka juga menjadi pensuplai bahan-bahan mentah, dan tentunya uang. Dalam keadaan seperti itu, para produsen secara ekonomi menjadi tergantung. Pada tahap berikutnya, para pedagang ikut “memaksa” kerajinan tangan untuk merubah dirinya menjadi bengkel-bengkel yang bukan lagi mempekerjakan beberapa pengrajin, tetapi buruh upahan dalam jumlah besar. Modal dagang berubah menjadi modal industri.
Di pedesaan, masuknya uang jugalah yang menciptakan diferensiasi petani ke dalam borjuasi desa (pemilik modal) yang menjadi kaya dan petanai miskin.
Sistim produksi kapitalis menjadi eksis dalam feodalisme di kota dan desa. Kehancuran feodalisme menjadi keharusan sejarah. Feodalisme telah menghambat perkembangan sistim produksi kapitalis. Di desa perkembangan ekonomi uang telah bertabrakan dengan sistim sewa uang, yang tentunya penghambat bagi kemajuan perluasan modal para borjuasi desa. Sementara,  indutri-industri di kota, di satu sisi, menghadapi persoalan kekuasaan feodal dengan upeti, dan pajak yang tinggi. Di lain sisi, borjuasi atau kapitalis kota, menghadapi masalah tenaga kerja buruh, yang tentunya harus didapat dari desa, sementara orang-orang desa ada di bawah kontrol kekuasaan feodal. Dalam situasi seperti itu, kehancuran feodalisme merupakan sebuah kerharusan. Dan ia -- kehancuran feodalisme -- mau tak mau merupakan hasil dari perjuangan klas yang tanpa ampun antara borjuasi dan petani melawan tuan-tuan bangsawan. Pemberontakan-pemberontakan petani telah menghancurkan fondasi sistim feodal dan membawanya ke arah kejatuhannya. Borjuasi, desa dan kota, memimpin perlawanan perjuangan anti-feodal dan memanfaatkan pemberontakan-pemberontakan tersebut untuk menghantarkannya menjadi klas penguasa; secara ekonomi dan politik.
Contoh perjuangan klas yang tuntas terjadi di Perancis pada akhir abad 1789. Sementara di Inggris, lebih banyak terjadi proses pelemahan-pelemahan kekuasaan feodal yang terus-menerus, perlahan.
Di Indonesia (Hindia Belanda tepatnya, karena belum ada sebutan Indonesia saat itu), kapitalisme berkembang bukan melalui perjuangan yang "tuntas" antara klas borjuasi melawan feodalisme -- walaupun pada kenyataannya kapitalisme harus menyingkirkan seteru utamanya; para priyayi -- tapi ia lebih karena dibawa oleh kolonialisme. Kemajuan tenaga-tenaga produktif -- yang merupakan dasar dari perkembangan kapitalisme dan pertentangan klas antara borjuasi dan bangsawan -- bukan berasal dari hasil penemuan-penemuan “dalam negeri”, hasil kemajuan teknologi dari rahim Nusantara, tapi dibawa oleh kolonialisme. Hingga akhir abad 19, setelah selesai tanam paksa, pabrik-pabrik gula banyak didirikan, terutama di Jawa; kereta api diperkenalkan; modal-modal asing di pertanian mulai masuk. Gejala tersebut-lah yang telah menghancurkan tatanan lama “feodalisme Nusantara”. Satu perubahan penting -- yang merupakan indikasi dari perkembangan kapitalisme di Hindia Belanda -- adalah pendirian pabrik-pabrik gula, telah menciptakan satu klas baru, yakni buruh, yang berasal dari petani yang mengalami kehancuran karena tanah-tanahnya hancur akibat dari perluasan perkebunan tebu.               

Perkembangan Kapitalisme

Salah satu basis dari perkembangan kapitalisme pada  akhir abad 18, di samping dengan menghancurkan tatanan feodalisme, adalah revolusi industri -- sebuah nama yang diberikan oleh Engels terhadap proses transisi ketika Inggris menjadi negeri kapitalis pada akhir abad 18. Pada masa itu Inggris, dan juga Eropa, mengalami perubahan-perubahan cepat di bidang teknologi; penemuan-penemuan penting terjadi; mesin uap, mesin transportasi, yang terutama adalah penemuan mesin-mesin di cabang industri tekstil. Penemuan-penemuan tersebut merubah secara radikal teknik-teknik pemintalan dan penenunan. Industri tekstil tidak lagi mempekerjakan beberapa pengrajin yang hanya menggunakan alat-alat jahit sederhana, tetapi seratus dan bahkan lebih dari seratus buruh tersedot ke dalamnya, dan produktivitas jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Demikian halnya dengan mesin uap, yang sangat berpengaruh pada kemampuan produksi; industri tidak lagi tergantung pada suplai air dari sungai-sungai, tetapi dengan mesin yang dapat menjadi bank air. Transpotasi telah membuat jarak antar kota dan desa semakin dekat dan semakin mudah untuk ditempuh.
Dalam situasi seperti ini, konsentrasi produksi adalah suatu yang tak terelakkan. Cara-cara produksi kerajinan telah tersingkirkan, bangkrut karena tidak mampu bersaing, atau bahkan ditelan oleh  indutri-industri manufaktur besar. Cabang-cabang produksi yang, pada sistim produksi kerajinan terpisah-pisah, telah disatukan dalam  pabrik-pabrik besar.       
Satu hal yang sangat penting dari perkembangan kapitalisme, bersamaan dengan perkembanagan revolusi industri, adalah terciptanya satu klas baru, klas yang pada masa-masa berikutnya akan menjadi seteru penguasa baru, menjadi ancaman bagi perampasan keuntungan, yakni kaum buruh, yang terkonsentrasi dalam jumlah besar. Kapitalisme telah menghancurkan feodalisme, ia telah meniadakan pertentangan yang tak kenal ampun antara borjuasi dengan bangsawan. Namun, bukan berarti pertentangan sudah tidak ada lagi, justru  pertentangan-pertentangan baru telah; antara kaum buruh dan borjuasi.
Pada awal abad 19, terjadi beberapa kali perlawanan kaum buruh yang diarahkan terhadap mesin-mesin produksi. Mesin-mesin tersebut, menurut mereka pada saat itu, adalah penyebab dari segala penindasan. Perlawanan yang terbesar terjadi pada tahun 1815 di Inggris; gerakan meluas ke seluruh pusat industri; terorganisir. Gerakan yang diarahakan kepada mesin-mesin tersebut, dalam sejarah, dikenal dengan gerakan Luddites. Klas penguasa menindas gerakan tersebut. Banyak kaum buruh, terutama para pemimpinnya, ditangkap, dan sebagian dari mereka dihukum mati.
Pada tahun  1817 sifat gerakan berubah menjadi revolusioner, dimotivasi oleh tuntutan-tuntutan perubahan politik dan ekonomi. Tuntutan-tuntutan mereka di antaranya adalah kebebasan berkumpul, kebebasan berorganisasi, kebebasan pers, dsb. Dua tahun berikutnya, gerakan yang telah mengalami kulminasinya dipukul kembali -- apa yang dikenal dengan "Manchester Massacre 1819."
Titik puncak gerakan buruh terjadi pada awal abad 20, ketika kaum buruh Rusia merebut kekuasaan politik dari tangan borjuasi pada bulan Nopember 1917.
Di Indonesia gerakan buruh dimulai pada awal abad 20, yang pada awal-awal dipimpin oleh faksi radikal dari Serikat Islam. Gerakan buruh di Indonesia, yang baru tumbuh bersamaan dengan munculnya organisasi-organisasi modern, tentunya memiliki nuansa yang berbeda dengan Eropa. Ia tidak hanya melawan penindasan ekonomi kapitalisme, tetapi juga kolonialisme.

Imperealisme

Sepanjang pertengahan akhir abad 19 kapitalisme memasuki tahap yang tertingginya. Ciri utama dari tahap itu, dan yang membedakannya dengan sebelumnya, adalah dalam tahap ini kapitalisme telah menyingkirkan “semangat kompetisi bebas” -- yang selalu diusung-usung sebagai pembenaran atas penghisapan -- dengan monopoli. Tenaga-tenaga produktif  mengalami perkembangan pesat; metode-metode baru dalam produksi diperkenalkan, terutama metode pengolahan baja dan besi. Juga, masih dalam periode yang sama, penemuan-penemuan penting lain terjadi, seperti dinamo, mesin uap, turbin, dsb. Penemuan-penemuan tersebut mempercepat perkembangan industri dan transportasi
Tahap kapitalisme monopoli ditandai oleh ciri-ciri dasar sbb; 1) konsentrasi produksi dan modal; 2) fusi, merger, atau penggabungan modal bank dengan modal industri dan munculnya dengan suatu oligarki financial; 3)  ekspor modal; 4) terbentuknya perusahaan-perusahaan monopoli internasional, yang membagi-bagi dunia ke dalam genggamannya.
               
Konsentrasi Produksi dan Monopoli

Dalam kapitalisme lama, satu komoditi atau komoditi yang sama dijual oleh kapitalis yang berbeda. Kenyataan tersebut telah mengakibatkan sebagian kapitalis menjadi semakin kaya, sementara yang lainnya jatuh, karena persaingan. Kompetisi bebas, yang membawa akibat sebagian kapitalis semakin kaya, dan sebagian lainnya jatuh, melahirkan konsentrasi produksi dalam perusahaan-perusahaan besar, yang mempekerjakan ratusan bahkan ribuan buruh. 
Di Jerman di tahun 1882, sebagai contoh misalnya, prosentase jumlah perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 50 buruh, sebesar 22 persen; tahun 1895  30 persen; 1907 37 persen; tahun 1925  47,2 persen; tahun 1939  49, 2 persen. Pada tahun 1955, di Jerman Barat, jumlah perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 50 buruh, sebesar  87,1 persen. Kenyataan tersebut menunjukkan peningkatan konsentrasi porduksi dan modal di Jerman. Di Negeri lain, AS misalnya, hingga tahun 1904 prosentase jumlah perusahaan-perusahaan besar yang output tahunannya  mencapai satu juta US dollar atau lebih, sebesar 0,9 persen. Dalam perkembangannya mereka kemudian telah mempekerjakan 25, 6 persen dari seluruh jumlah buruh, dan memproduksi 38 persen out put AS. Dalam tahun 1939, perusahaan-perusahaan besar AS, yang prosentase jumlahnya 5,2 persen dari seluruh industri AS, telah mempekerjakan 55 persen dari seluruh jumlah buruh, dan memproduksi 67,5 out put industrial. Dalam tahun 1955, 500 perusahaan-perusahaan industri memproduksi setengah dari seluruh jumlah out put industri dan memperoleh 68 persen dari seluruh jumlah keuntungan. Dari 500 perusahaan-perusahaan tersebut, 50-nya membangun 0,05 persen dari seluruh jumlah out put dalam industrial proses – atau hampir seperempatnya (Nikitin: 1963).
Pada masa sekarang, tentunya, prosentase seperti itu jumlahnya beratus-ratus kali lipat.  Di Indonesia misalnya, banyak perusahaan yang mempekerjakan ribuan buruh, bahkan puluhan ribu.
Di samping terkonsentrasi, modal juga menjadi tersentralisasi. Sentralisasi adalah penggabungan, merger, dari berbagai modal yang terpisah-pisah, milik berbagai kapitalis, ke dalam satu modal besar. Ini dapat terjadi melalui kesepakatan, seperti contoh, ketika joint stock companie  (perusahaan join) dibentuk. Atau dengan paksaan, ketika modal-modal besar menyingkirkan atau bahkan melahap perusahaan-perusahaan yang lebih kecil.
Konsentrasi dan sentralisasi mengarah pada monopoli. Sulit bagi perusahaan-perusahaan besar dengan modal yang begitu besar di belakangnya untuk mengalahkan para pesaingnya. Dalam situasi seperti itu, yang paling mungkin adalah mencapai kesepakatan bersama dengan yang lainnya demi tujuan pembagian pasar dan eksploitasi bahan-bahan mentah, penetapan harga, dsb. Itulah monopoli.
Monopoli adalah sebuah kesepakatan antara, atau asosiasi dari, kapitalis yng memegang kontrol produksi atau penjualan (seringnya produksi dan penjualan sekaligus) atas bagian terbesar dari komoditi tertentu. Apapun bentuk asosiasinya, tujuannya tetap mencari keuntungan sebesar-besarnya. Asosiasi-asosiasi monopolis muncul terutama di cabang-cabang industri berat, di mana produksi telah menjadi terkonsentrasi. Ketika telah memegang kontrol terhadap industri berat, monopoli menyebar ke cabang-cabang industri lainnya, menyingkirkan pesaing-pesaingnya, atau bahkan menelannya.
Bentuk-bentuk asosiasi monopolis bervariasi, dan pada awalnya merupakan kesepakatan short term (waktu yang relatif pendek) antara individual kapitalis berkaitan dengan harga. Sementara kesepakatan yang berjangka waktu relatif panjang (long term), bentuk-bentuknya adalah seperti Kartel, Syndicate, Trust, dan Concern.
Dalam imperealisme, asosiasi-asosiasi monopolis mendominasi ekonomi di negeri-negeri kapitalis. Mereka merengkuh seluruh cabang-cabang industri, transportasi, perdagangan, asuransi, dan perbankan. Di AS tahun 1959, sebagai contoh, industri baja dan besi didominasi oleh 17 perusahaan monopolis, yang memegang kontrol  94 persen kapasitas produksi baja. Dua diantaranya – U.S. Steel Corporation dan Bethlehem Steel Corporation – mengontrol setengah dari kapasitas produksi baja di negeri itu.  Di bidang Industri automobile ada  tiga perusahaan monopolis; General Motors, Ford, dan Chrysler, yang pada tahun 1958 memegang kontrol 93 persen produksi mobil. Pada Perang Dunia II mereka memproduksi seluruh transportasi, 75 persen mesin penerbangan, 40 persen tank dan 30 persen artileri,  mesin-senjata, dsb. (Nikitin: 1963)
Perusahaan-perusahaan monopolis besar di Inggris, seperti juga di AS, memegang kontrol terhadap ekonomi negerinya. British Iron dan Steel  Federation, sebagai contoh, telah menggabungkan seluruh perusahaan-perusahaan baja dan besi di seluruh negeri. Perusahaan monopolis yang terbesar adalah Vickers Armstrong. Selama Perang Dunia II Vickers Armstrong telah menjual kepada pemerintah Inggris 28.000 pesawat terbang, 164.000 senjata berat (Nikitin: 1963).
Dalam bidang industri kimia perusahaan monopolis terbesar adalah Impereal Chemical Industries, yang memegang kontrol 95 persen produksi kimia dasar. Demikian halnya di Perancis, sebuah kartel, Alluminium Francais, mengontrol seluruh produksi aluminium. Sementara produksi mobil terkonsentrasi di tangan empat perusahaan monopoli. (Nikitin: 1963)
Monopoli bukan berarti telah menyingkirkan kompetisi sepenunya, seperti yang selalu digembar-gemborkan oleh para ideolog borjuis. Jarang ada satu perusahaan monopolis menguasai 100 persen monopoli dari seluruh industri. Kompetisi  akan terus berlangsung di antara para kapitalis monopolis. Mereka bertarung satu sama lain demi perluasan pasar,  eksploitasi sumber-sumber daya alam, dsb, yang diakhiri dengan kesepakatan atau bahkan dengan perang sekalipun.


Modal Finansial dan Oligarki Finansial

Konsentrasi produksi dan formasi monopoli dalam industri, tak pelak, telah mengarah pada konsentrasi modal dalam bank dan monopoli perbankan. Kompetisi di antara bank berakhir dengan hancurnya bank-bank yang lebih kecil, atau bank-bank yang lebih kecil menjadi subordinat, dikontrol oleh yang lebih besar. Tahun 1900 di AS, sebagai contoh, sebanyak 10.382 bank memegang aset 10.785 juta US dollar, tetapi di tahun 1940 jumlahnya meningkat, yakni ada 15.017 bank dengan aset sebesar 80.213 juta US dollar. Berarti, selama 40 tahun jumlah bank meningkat hanya 50 persen, sementara asetnya meningkat delapan kali lipat. Tahun 1900, 20 bank besar di AS memiliki 15 persen jumlah deposit, dan pada tahun 1956 menjadi 37 persen (Nikitin: 1963).
 Konsentrasi  dan monopoli bank telah merubah hubungan antara bank dan industri. Awalnya, bank hanya berfungsi sebagai perantara  dalam pembayaran. Seiring dengan perkembangan kapitalisme, operasi kredit bank meluas. Konsentrasi dan sentrasliasi bank menciptakan situasi di mana bank mendapatkan kekuatan ekonomi yang begitu besar. Ketika bank memegang uang kapitalis, maka bank, sebagai konsekuensinya, mengetahui sepak terjang clientnya, mendapatkan kontrol terhadapnya dan, dengan kreditnya yang bisa dengan mudah atau sukar didapatnya, menempatkan kapitalis industri di dalam posisi subordinat dan dapat mengarahkan aktivitasnya.
Jadi, dari sekedar fungsi perantara dalam hal pembayaran, bank telah menjadi pusat finansial yang memiliki  kekuatan penuh. Peralihan dari bank menjadi monopolis besar, dengan demikian, semakin mempercepat konsentrasi produksi. Hal ini terjadi karena bank memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan besar monopolis. Bank mulai membeli saham di dalamnya. Mereka membeli cukup saham untuk menjamin bahwa mereka memiliki suara yang menentukan dalam monopoli. Sebaliknya, para kapitalis industri juga memiliki saham di bank. Hasilnya adalah antar-hubungan, kerjasama, koalisi, antara monopoli bank dengan modal industri. Ini menjadi basis bagi kelahiran sebuah modal finansial.              
Koalisi antara modal bank dan industri mengambil berbagai bentuk. Yang paling kuat adalah personal union, yakni ketika orang yang sama memegang kontrol terhadap bank, industri, perdagangan, dan monopoli lainnya. Di Indonesia terlihat nyata, seperti misalnya Liem Siauw Liong, atau bahkan Soeharto sendiri, yang memgang monopoli bank dan sekaligus banyak cabang industri.
Pertumbuhan monopoli dan modal finansial membentuk lingkaran kecil orang yang menempati posisi yang domian, tidak hanya ekonomi, tapi juga politik. Lingkaran-lingkaran tersebut itulah yang kita kenal dengan oligarki finansial.        Seluruh cabang ekonomi penting dan seluruh posisi kunci dalam alat-alat politik di negeri-negeri kapitalis berada di tangan oligarki finansial. 
Read more...

FPBI

FPBI