Kapitalisme adalah sebuah sistim produksi
komoditi (dagangan), di mana alat-alat produksi dimiliki secara pribadi oleh
para pemilik modal (kapitalis), sementara
buruh yang tidak memiliki apa-apa kecuali tenaganya, menjual tenaganya kepada
para pemilik.
Skema sistim produksi kapitalisme demikian:
U - K - U+, U+ = U + n
U
= uang
K
= komoditi
n
= nilai lebih
Uang tidak akan pernah menjadi modal jika
siklus pertukaran komoditi K - U - K,. Siklus semacam itu bukanlah kapitalisme,
perpuataran seperti itu seperti orang menjual radio untuk makan, uang hanya
menjadi alat sirkulasi, atau alat pertukaran dan perantara. Uang akan menjadi
modal ketika ia dipakai dalam tujuan menghisap tenaga kerja buruh, ketika ia
digunakan untuk membeli alat-alat produksi -- barang-barang mentah -- dan
membeli tenaga kerja buruh untuk produksi.
Dalam produksi kapitalisme uang digunakan untuk membeli Komoditi -- dalam
bentuk alat-alat produksi (modal konstan) dan tenaga kerja buruh (modal
bergerak). Si buruh bekerja menghasilkan komoditi baru
(K+) yang nilainya berbeda dengan komoditi semula (K). Selisih perbedaan
nilai komoditi baru dengan komoditi sebelumnya itulah yang disebut dengan nilai
lebih.
Mungkin akan lebih baik jika kita berikan
ilustrasi sederhana.
Misalkan, seorang pemilik modal
(kapitalis) memiliki uang sebagai modal sebesar Rp 20.000,-. Ia gunakan sebesar
Rp 10.000 untuk membeli kain yang akan dijadikan sebuah baju (modal konstan).
Ia juga gunakan uangnya sebersa Rp 10.000 untuk membeli tenaga kerja buruh (modal
bergerak). Baju yang diproduki buruh seharga Rp 30.000. Nilai lebihnya
sebesar Rp 30.000 - Rp 20.000 = Rp 10.000. Pertanyaannya, dari mana nilai lebih
itu dihasilkan? Dari produksi. Tenaga kerja buruh telah merubah komoditi semula
(kain) menjadi komoditi baru yang bernilai Rp 30.000 tersebut. Prosesnya
demikian; ada kerja pokok si buruh, yakni waktu kerja yang dihabiskan
oleh buruh untuk mendapatkan kebutuhannya. Waktu kerja pokok dihitung dari apa
yang didapatnya, Rp 10.000 itulah. Ia bekerja, katakanlah 4 jam, untuk
berproduksi membuat kain menjadi baju. Yang buruh hasilkan, sebenarnya, adalah
Rp 20.000, yakni nilai yang ditambahkan oleh si buruh terhdap kain yang
kemudian menjadi baju tersebut. Jika yang dihasilkan oleh buruh sebesar Rp
20.000, sementara yang ia dapatkan hanya Rp 20.000, maka waktu kerja pokok si
buruh hanya 2 jam. Penjelasannya begini; ia hasilkan Rp 20.000 dalam 4 jam,
untuk menghasilkan Rp 10.000 (hanya itu yang ia dapatkan) ia hanya butuh waktu
2 jam. Itu kerja pokok, yaitu, sekali lagi, kerja yang untuk mendapatkan
kebutuhan-kebutuhannya. Sementara, 2 jam sisanya, ia abdikan untuk si pemilik
modal, dirampas oleh si pemilik modal, karena itu haksi buruh. 2 jam sisa ini
disebut kerja lebih.
Dari nilai lebih yang dirampas dari buruh
-- karena dihasilkan oleh buruh -- kapitalis (pemilik modal) dapat menumpuk
modal, memperluas, membangun pabrik-pabrik baru, membangun
perdagangan-perdagangan baru, dsb. Proses tersebut dinamakan akumulasi modal.
Krisis kapitalisme
Pertentangan yang mendasar dalam sistim
kapitalisme adalah bahwa produksi sifatnya sosial, produksi massal dan
dikonsumsi orang banyak, sementara, kepemilikan terhadap alat-alat produksi dan
hasil produksinya secara pribadi. Produksi terus-menerus mengalami
spesialisasi; cabang-cabang produksi berkembang; perusahaan-perusahaan membesar
(yang terus menyerap tenaga kerja buruh dalam jumlah yang terus meningkat);
bahkan perusahaan-perusahaan tersebut kini berkaitan dengan pasar nasional dan
internasional. Konsentrasi buruh yang semakin lama semakin besar memberikan
kapitalisme watak sosialnya.
Sementara alat-alat produksi yang
jumlahnya ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan pasti jutaan dan milyaran,
yang idoperasikan oleh ratusan juta kaum buruh, dan produk yang dihasilkannya,
dipunyai atau menjadi milik pribadi kapitalis.
Pertentangan tersebutlah yang selalu
terus-menerus menyebabkan krisis kelebihan produksi. Komoditi diproduksi terus-menerus
tidak terbatas, secara anarki tanpa perencanaan, demi mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya; produksi diperluas tanpa mempertimbangkan kebutuhan. Hingga
pada suatu saat hasil produksi tidak terjual, karena daya beli menurun. Barang
numpuk di gudang-gudang, PHK besar-besaran, nilai mata uang ambruk, inflasi,
dsb.
Krisis kapitalisme beberapa kali terjadi
secara periodik. Krisis pertama terjadi di Inggris pada tahun 1825. Dan pada
tahun 1847-48 krisis menyapu seluruh AS dan beberapa negeri di Eropa. Krisis
yang paling serius terjadi pada abad 19
adalah pada tahun 1873, yang kemudian mendorong peralihan kapitalisme dari pra-monopoli
ke monopoli.
Kelahiran Kapitalisme
Umat manusia pernah mengenal sistim
feodalisme beberapa abad yang lalu. Ia merupakan sebuah sistim produksi, di mana alat-alat produksi dimiliki
oleh tuan-tuan tanah, para bangsawan dan raja. Sementara kaum yang bekerja,
berproduksi, adalah mereka yang disebut dengan hamba, yang sebagian besar adalah
petani. Penindasan yang diderita oleh kaum hamba berlangsung dalam bentuk kerja
wajib, di mana hamba mengerjakan milik tuan tanah, atau sewa tanah -- hamba memberikan sebagian
hasil produknya kepada tuan-tuan tanah. Perbedaanya dengan kapitalisme adalah
surplus produk yang dirampas oleh para tuan tanah tidak dijual untuk profit,
tapi lebih untuk kemewahan, kemegahan dan dihambur-hamburkan. Demikian pula
bagi produsen, hasil produk tidak untuk dijual, tapi untuk pemenuhan kebutuhan
sendiri. Penyebabnya adalah kekuatan produktif (teknologi, alat-alat produksi,
keahlian, dsb.) sangat rendah, sehingga produktivitasnya rendah. Sistim
produksi seperti ini dialami oleh sebagian besar Eropa, dan beberapa negeri
Asia.
Sementara, di Nusantara (sekarang
Indonesia) memiliki ciri yang berbeda. Yakni, pertama, di Eropa sebagian besar
tanah-tanah dimiliki oleh para tuan tanah dan bangsawan lokal, bukan oleh raja.
Para bangsawan dan tuan tanah memberikan upeti kepada para raja. Maka, tidak
heran kebanyakan perebutan kekuasaan feodal berasal dari para tuan tanah dan
bangsawan lokal, atau yang disebut dengan baron. Di Nusantara tanah
sebagian besar dimiliki oleh raja, para bangsawan lokal hanya merupakan
perpanjangan tangan raja. Makanya tidak heran, perebutan kekuasaan dilakukan
bukan oleh para bengsawan lokal, tetapi, biasanya oleh kalangan kelurga
kerajaan, atau peperangan dengan kerajaan lain. Kedua, para petani, bekerja
dengan kerja wajib. Yakni kerja yang diberikan kepada para bangsawan dan raja,
baik di dalam lingkup rumah tangga sang bansawan atau raja, maupun di
tanah-tanah para bangsawan. Setelah sekian lama petani mengabdi pada majikan,
ia kemudian “diberikan” tanah untuk diproduksi demi memenuhi kebutuhan sendiri
dan keluarganya. Siklusnye bergiliran.
Di samping sistim produksi feodal yang
merupakan sistim produksi yang paling dominan, sistim produksi lain telah ada
dan berkembang, yakni kerajinan dan perdagangan, yang masih menjadi obyek
wewenang para bangsawan. Artinya, bangsawan memegang kontrol terhadap aktivitas
ekonomi lain secara tidak langsung -- para pemilik kerajinan dan pedagang harus membayar upeti, pajak,
dsb.
Di bawah feodalisme terjadi perkembangan
tenaga-tenaga produktif; teknik-teknik produksi diperbaiki; alat-alat kerja
besi dan baja mulai diperkenalkan secara intensif; alat-alat kerja kerajinan
dan metode pemrosesan bahan mentah mengalami perbaikan (mulai menggunakan
perapian, dsb); kerajinan mulai terspesialisasi. Gejala tersebut berkembang
pada sekitar abad 15.
Seiring dengan perkembangan perdagangan
dan kota-kota, pedesaan kini terseret masuk dalam ekonomi uang. Metode produksi
di pedesaan berubah menjadi sewa tanah dengan uang, bukan dengan kerja, karena
tuan-tuan tanah butuh uang untuk
kemewahan dan kemegahan. Eksploitasi feodalisme menjadi semakin intensif
dengan berkembangnya sistim sewa uang.
Di sektor perdagangan, dengan ditemukannya
benua-benua baru (Afrika, Amerika Latin, dan Asia) untuk pasar dan perampasan
bahan-bahan mentah telah mendorong produksi kerajinan semakin berkembang; skala
operasi produksi meluas karena meluasnya permintaan pasar. Ada satu gejala
penting berkaitan dengan perkembangan perdagangan, yakni para pedagang mulai
memegang kontrol terhadap produksi kerajinan dan pertanian. Mulanya, para
pedagang hanya sebagai perantara dalam pertukaran komoditi. Tapi, lambat laun,
karena mereka menguasai pasar dan bahan mentah, mereka menjadi dominan. Mereka
telah menjadi pembeli sistimatis dari para produsen, baik pertanian maupun
kerajinan. Mereka juga menjadi pensuplai bahan-bahan mentah, dan tentunya uang.
Dalam keadaan seperti itu, para produsen secara ekonomi menjadi tergantung.
Pada tahap berikutnya, para pedagang ikut “memaksa” kerajinan tangan untuk
merubah dirinya menjadi bengkel-bengkel yang bukan lagi mempekerjakan beberapa
pengrajin, tetapi buruh upahan dalam jumlah besar. Modal dagang berubah menjadi
modal industri.
Di pedesaan, masuknya uang jugalah yang
menciptakan diferensiasi petani ke dalam borjuasi desa (pemilik modal) yang
menjadi kaya dan petanai miskin.
Sistim produksi kapitalis menjadi eksis
dalam feodalisme di kota dan desa. Kehancuran feodalisme menjadi keharusan
sejarah. Feodalisme telah menghambat perkembangan sistim produksi kapitalis. Di
desa perkembangan ekonomi uang telah bertabrakan dengan sistim sewa uang, yang
tentunya penghambat bagi kemajuan perluasan modal para borjuasi desa.
Sementara, indutri-industri di kota, di
satu sisi, menghadapi persoalan kekuasaan feodal dengan upeti, dan pajak yang
tinggi. Di lain sisi, borjuasi atau kapitalis kota, menghadapi masalah tenaga
kerja buruh, yang tentunya harus didapat dari desa, sementara orang-orang desa
ada di bawah kontrol kekuasaan feodal. Dalam situasi seperti itu, kehancuran
feodalisme merupakan sebuah kerharusan. Dan ia -- kehancuran feodalisme -- mau
tak mau merupakan hasil dari perjuangan klas yang tanpa ampun antara borjuasi
dan petani melawan tuan-tuan bangsawan. Pemberontakan-pemberontakan petani
telah menghancurkan fondasi sistim feodal dan membawanya ke arah kejatuhannya.
Borjuasi, desa dan kota, memimpin perlawanan perjuangan anti-feodal dan
memanfaatkan pemberontakan-pemberontakan tersebut untuk menghantarkannya
menjadi klas penguasa; secara ekonomi dan politik.
Contoh perjuangan klas yang tuntas terjadi
di Perancis pada akhir abad 1789. Sementara di Inggris, lebih banyak terjadi
proses pelemahan-pelemahan kekuasaan feodal yang terus-menerus, perlahan.
Di Indonesia (Hindia Belanda tepatnya,
karena belum ada sebutan Indonesia saat itu), kapitalisme berkembang bukan
melalui perjuangan yang "tuntas" antara klas borjuasi melawan
feodalisme -- walaupun pada kenyataannya kapitalisme harus menyingkirkan seteru
utamanya; para priyayi -- tapi ia lebih karena dibawa oleh kolonialisme.
Kemajuan tenaga-tenaga produktif -- yang merupakan dasar dari perkembangan
kapitalisme dan pertentangan klas antara borjuasi dan bangsawan -- bukan
berasal dari hasil penemuan-penemuan “dalam negeri”, hasil kemajuan teknologi
dari rahim Nusantara, tapi dibawa oleh kolonialisme. Hingga akhir abad 19,
setelah selesai tanam paksa, pabrik-pabrik gula banyak didirikan, terutama di
Jawa; kereta api diperkenalkan; modal-modal asing di pertanian mulai masuk.
Gejala tersebut-lah yang telah menghancurkan tatanan lama “feodalisme
Nusantara”. Satu perubahan penting -- yang merupakan indikasi dari perkembangan
kapitalisme di Hindia Belanda -- adalah pendirian pabrik-pabrik gula, telah
menciptakan satu klas baru, yakni buruh, yang berasal dari petani yang
mengalami kehancuran karena tanah-tanahnya hancur akibat dari perluasan
perkebunan tebu.
Perkembangan Kapitalisme
Salah satu basis dari perkembangan
kapitalisme pada akhir abad 18, di
samping dengan menghancurkan tatanan feodalisme, adalah revolusi industri
-- sebuah nama yang diberikan oleh Engels terhadap proses transisi ketika
Inggris menjadi negeri kapitalis pada akhir abad 18. Pada masa itu Inggris, dan
juga Eropa, mengalami perubahan-perubahan cepat di bidang teknologi;
penemuan-penemuan penting terjadi; mesin uap, mesin transportasi, yang terutama
adalah penemuan mesin-mesin di cabang industri tekstil. Penemuan-penemuan
tersebut merubah secara radikal teknik-teknik pemintalan dan penenunan.
Industri tekstil tidak lagi mempekerjakan beberapa pengrajin yang hanya
menggunakan alat-alat jahit sederhana, tetapi seratus dan bahkan lebih dari
seratus buruh tersedot ke dalamnya, dan produktivitas jauh lebih tinggi dari
sebelumnya. Demikian halnya dengan mesin uap, yang sangat berpengaruh pada
kemampuan produksi; industri tidak lagi tergantung pada suplai air dari
sungai-sungai, tetapi dengan mesin yang dapat menjadi bank air. Transpotasi
telah membuat jarak antar kota dan desa semakin dekat dan semakin mudah untuk
ditempuh.
Dalam situasi seperti ini, konsentrasi
produksi adalah suatu yang tak terelakkan. Cara-cara produksi kerajinan telah
tersingkirkan, bangkrut karena tidak mampu bersaing, atau bahkan ditelan
oleh indutri-industri manufaktur besar.
Cabang-cabang produksi yang, pada sistim produksi kerajinan terpisah-pisah,
telah disatukan dalam pabrik-pabrik
besar.
Satu hal yang sangat penting dari
perkembangan kapitalisme, bersamaan dengan perkembanagan revolusi industri,
adalah terciptanya satu klas baru, klas yang pada masa-masa berikutnya akan
menjadi seteru penguasa baru, menjadi ancaman bagi perampasan keuntungan, yakni
kaum buruh, yang terkonsentrasi dalam jumlah besar. Kapitalisme telah
menghancurkan feodalisme, ia telah meniadakan pertentangan yang tak kenal ampun
antara borjuasi dengan bangsawan. Namun, bukan berarti pertentangan sudah tidak
ada lagi, justru pertentangan-pertentangan
baru telah; antara kaum buruh dan borjuasi.
Pada awal abad 19, terjadi beberapa kali
perlawanan kaum buruh yang diarahkan terhadap mesin-mesin produksi. Mesin-mesin
tersebut, menurut mereka pada saat itu, adalah penyebab dari segala penindasan.
Perlawanan yang terbesar terjadi pada tahun 1815 di Inggris; gerakan meluas ke
seluruh pusat industri; terorganisir. Gerakan yang diarahakan kepada
mesin-mesin tersebut, dalam sejarah, dikenal dengan gerakan Luddites.
Klas penguasa menindas gerakan tersebut. Banyak kaum buruh, terutama para
pemimpinnya, ditangkap, dan sebagian dari mereka dihukum mati.
Pada tahun
1817 sifat gerakan berubah menjadi revolusioner, dimotivasi oleh
tuntutan-tuntutan perubahan politik dan ekonomi. Tuntutan-tuntutan mereka di
antaranya adalah kebebasan berkumpul, kebebasan berorganisasi, kebebasan pers,
dsb. Dua tahun berikutnya, gerakan yang telah mengalami kulminasinya dipukul
kembali -- apa yang dikenal dengan "Manchester Massacre 1819."
Titik puncak gerakan buruh terjadi pada
awal abad 20, ketika kaum buruh Rusia merebut kekuasaan politik dari tangan
borjuasi pada bulan Nopember 1917.
Di Indonesia gerakan buruh dimulai pada
awal abad 20, yang pada awal-awal dipimpin oleh faksi radikal dari Serikat
Islam. Gerakan buruh di Indonesia, yang baru tumbuh bersamaan dengan munculnya
organisasi-organisasi modern, tentunya memiliki nuansa yang berbeda dengan
Eropa. Ia tidak hanya melawan penindasan ekonomi kapitalisme, tetapi juga
kolonialisme.
Imperealisme
Sepanjang pertengahan akhir abad 19
kapitalisme memasuki tahap yang tertingginya. Ciri utama dari tahap itu, dan
yang membedakannya dengan sebelumnya, adalah dalam tahap ini kapitalisme telah
menyingkirkan “semangat kompetisi bebas” -- yang selalu diusung-usung sebagai
pembenaran atas penghisapan -- dengan monopoli. Tenaga-tenaga
produktif mengalami perkembangan pesat;
metode-metode baru dalam produksi diperkenalkan, terutama metode pengolahan
baja dan besi. Juga, masih dalam periode yang sama, penemuan-penemuan penting
lain terjadi, seperti dinamo, mesin uap, turbin, dsb. Penemuan-penemuan
tersebut mempercepat perkembangan industri dan transportasi
Tahap kapitalisme monopoli ditandai oleh
ciri-ciri dasar sbb; 1) konsentrasi produksi dan modal; 2) fusi, merger, atau
penggabungan modal bank dengan modal industri dan munculnya dengan suatu oligarki
financial; 3) ekspor modal; 4)
terbentuknya perusahaan-perusahaan monopoli internasional, yang membagi-bagi
dunia ke dalam genggamannya.
Konsentrasi Produksi dan Monopoli
Dalam kapitalisme lama, satu komoditi atau
komoditi yang sama dijual oleh kapitalis yang berbeda. Kenyataan tersebut telah
mengakibatkan sebagian kapitalis menjadi semakin kaya, sementara yang lainnya
jatuh, karena persaingan. Kompetisi bebas, yang membawa akibat sebagian
kapitalis semakin kaya, dan sebagian lainnya jatuh, melahirkan konsentrasi
produksi dalam perusahaan-perusahaan besar, yang mempekerjakan ratusan
bahkan ribuan buruh.
Di Jerman di tahun 1882, sebagai contoh
misalnya, prosentase jumlah perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan lebih dari
50 buruh, sebesar 22 persen; tahun 1895
30 persen; 1907 37 persen; tahun 1925
47,2 persen; tahun 1939 49, 2
persen. Pada tahun 1955, di Jerman Barat, jumlah perusahaan yang mempekerjakan
lebih dari 50 buruh, sebesar 87,1
persen. Kenyataan tersebut menunjukkan peningkatan konsentrasi porduksi dan
modal di Jerman. Di Negeri lain, AS misalnya, hingga tahun 1904 prosentase
jumlah perusahaan-perusahaan besar yang output tahunannya mencapai satu juta US dollar atau lebih,
sebesar 0,9 persen. Dalam perkembangannya mereka kemudian telah mempekerjakan
25, 6 persen dari seluruh jumlah buruh, dan memproduksi 38 persen out put AS.
Dalam tahun 1939, perusahaan-perusahaan besar AS, yang prosentase jumlahnya 5,2
persen dari seluruh industri AS, telah mempekerjakan 55 persen dari seluruh
jumlah buruh, dan memproduksi 67,5 out put industrial. Dalam tahun 1955, 500
perusahaan-perusahaan industri memproduksi setengah dari seluruh jumlah out put
industri dan memperoleh 68 persen dari seluruh jumlah keuntungan. Dari 500
perusahaan-perusahaan tersebut, 50-nya membangun 0,05 persen dari seluruh
jumlah out put dalam industrial proses – atau hampir seperempatnya (Nikitin:
1963).
Pada masa sekarang, tentunya, prosentase
seperti itu jumlahnya beratus-ratus kali lipat.
Di Indonesia misalnya, banyak perusahaan yang mempekerjakan ribuan
buruh, bahkan puluhan ribu.
Di samping terkonsentrasi, modal juga
menjadi tersentralisasi. Sentralisasi adalah penggabungan, merger, dari
berbagai modal yang terpisah-pisah, milik berbagai kapitalis, ke dalam satu
modal besar. Ini dapat terjadi melalui kesepakatan, seperti contoh, ketika joint
stock companie (perusahaan join)
dibentuk. Atau dengan paksaan, ketika modal-modal besar menyingkirkan atau
bahkan melahap perusahaan-perusahaan yang lebih kecil.
Konsentrasi dan sentralisasi mengarah pada
monopoli. Sulit bagi perusahaan-perusahaan besar dengan modal yang begitu besar
di belakangnya untuk mengalahkan para pesaingnya. Dalam situasi seperti itu,
yang paling mungkin adalah mencapai kesepakatan bersama dengan yang lainnya
demi tujuan pembagian pasar dan eksploitasi bahan-bahan mentah, penetapan
harga, dsb. Itulah monopoli.
Monopoli adalah sebuah kesepakatan antara, atau asosiasi dari,
kapitalis yng memegang kontrol produksi atau penjualan (seringnya produksi dan
penjualan sekaligus) atas bagian terbesar dari komoditi tertentu. Apapun bentuk
asosiasinya, tujuannya tetap mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Asosiasi-asosiasi monopolis muncul terutama di cabang-cabang industri berat, di
mana produksi telah menjadi terkonsentrasi. Ketika telah memegang kontrol
terhadap industri berat, monopoli menyebar ke cabang-cabang industri lainnya,
menyingkirkan pesaing-pesaingnya, atau bahkan menelannya.
Bentuk-bentuk asosiasi monopolis
bervariasi, dan pada awalnya merupakan kesepakatan short term (waktu
yang relatif pendek) antara individual kapitalis berkaitan dengan harga.
Sementara kesepakatan yang berjangka waktu relatif panjang (long term),
bentuk-bentuknya adalah seperti Kartel, Syndicate, Trust, dan Concern.
Dalam imperealisme, asosiasi-asosiasi
monopolis mendominasi ekonomi di negeri-negeri kapitalis. Mereka merengkuh
seluruh cabang-cabang industri, transportasi, perdagangan, asuransi, dan
perbankan. Di AS tahun 1959, sebagai contoh, industri baja dan besi didominasi
oleh 17 perusahaan monopolis, yang memegang kontrol 94 persen kapasitas produksi baja. Dua
diantaranya – U.S. Steel Corporation dan Bethlehem Steel Corporation –
mengontrol setengah dari kapasitas produksi baja di negeri itu. Di bidang Industri automobile ada tiga perusahaan monopolis; General Motors,
Ford, dan Chrysler, yang pada tahun 1958 memegang kontrol 93 persen produksi
mobil. Pada Perang Dunia II mereka memproduksi seluruh transportasi, 75 persen
mesin penerbangan, 40 persen tank dan 30 persen artileri, mesin-senjata, dsb. (Nikitin: 1963)
Perusahaan-perusahaan monopolis besar di
Inggris, seperti juga di AS, memegang kontrol terhadap ekonomi negerinya.
British Iron dan Steel Federation,
sebagai contoh, telah menggabungkan seluruh perusahaan-perusahaan baja dan besi
di seluruh negeri. Perusahaan monopolis yang terbesar adalah Vickers Armstrong.
Selama Perang Dunia II Vickers Armstrong telah menjual kepada pemerintah
Inggris 28.000 pesawat terbang, 164.000 senjata berat (Nikitin: 1963).
Dalam bidang industri kimia perusahaan
monopolis terbesar adalah Impereal Chemical Industries, yang memegang kontrol
95 persen produksi kimia dasar. Demikian halnya di Perancis, sebuah kartel,
Alluminium Francais, mengontrol seluruh produksi aluminium. Sementara produksi
mobil terkonsentrasi di tangan empat perusahaan monopoli. (Nikitin: 1963)
Monopoli bukan berarti telah menyingkirkan
kompetisi sepenunya, seperti yang selalu digembar-gemborkan oleh para ideolog
borjuis. Jarang ada satu perusahaan monopolis menguasai 100 persen monopoli
dari seluruh industri. Kompetisi akan
terus berlangsung di antara para kapitalis monopolis. Mereka bertarung satu
sama lain demi perluasan pasar,
eksploitasi sumber-sumber daya alam, dsb, yang diakhiri dengan
kesepakatan atau bahkan dengan perang sekalipun.
Modal Finansial dan Oligarki Finansial
Konsentrasi produksi dan formasi monopoli
dalam industri, tak pelak, telah mengarah pada konsentrasi modal dalam bank dan
monopoli perbankan. Kompetisi di antara bank berakhir dengan hancurnya
bank-bank yang lebih kecil, atau bank-bank yang lebih kecil menjadi subordinat,
dikontrol oleh yang lebih besar. Tahun 1900 di AS, sebagai contoh, sebanyak
10.382 bank memegang aset 10.785 juta US dollar, tetapi di tahun 1940 jumlahnya
meningkat, yakni ada 15.017 bank dengan aset sebesar 80.213 juta US dollar.
Berarti, selama 40 tahun jumlah bank meningkat hanya 50 persen, sementara
asetnya meningkat delapan kali lipat. Tahun 1900, 20 bank besar di AS memiliki
15 persen jumlah deposit, dan pada tahun 1956 menjadi 37 persen (Nikitin:
1963).
Konsentrasi
dan monopoli bank telah merubah hubungan antara bank dan industri.
Awalnya, bank hanya berfungsi sebagai perantara
dalam pembayaran. Seiring dengan perkembangan kapitalisme, operasi
kredit bank meluas. Konsentrasi dan sentrasliasi bank menciptakan situasi di
mana bank mendapatkan kekuatan ekonomi yang begitu besar. Ketika bank memegang
uang kapitalis, maka bank, sebagai konsekuensinya, mengetahui sepak terjang
clientnya, mendapatkan kontrol terhadapnya dan, dengan kreditnya yang bisa
dengan mudah atau sukar didapatnya, menempatkan kapitalis industri di dalam
posisi subordinat dan dapat mengarahkan aktivitasnya.
Jadi, dari sekedar fungsi perantara dalam
hal pembayaran, bank telah menjadi pusat finansial yang memiliki kekuatan penuh. Peralihan dari bank menjadi
monopolis besar, dengan demikian, semakin mempercepat konsentrasi produksi. Hal
ini terjadi karena bank memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan besar
monopolis. Bank mulai membeli saham di dalamnya. Mereka membeli cukup saham
untuk menjamin bahwa mereka memiliki suara yang menentukan dalam monopoli.
Sebaliknya, para kapitalis industri juga memiliki saham di bank. Hasilnya
adalah antar-hubungan, kerjasama, koalisi, antara monopoli bank dengan modal
industri. Ini menjadi basis bagi kelahiran sebuah modal finansial.
Koalisi antara modal bank dan industri
mengambil berbagai bentuk. Yang paling kuat adalah personal union, yakni
ketika orang yang sama memegang kontrol terhadap bank, industri, perdagangan,
dan monopoli lainnya. Di Indonesia terlihat nyata, seperti misalnya Liem Siauw
Liong, atau bahkan Soeharto sendiri, yang memgang monopoli bank dan sekaligus
banyak cabang industri.
Pertumbuhan monopoli dan modal finansial
membentuk lingkaran kecil orang yang menempati posisi yang domian, tidak hanya
ekonomi, tapi juga politik. Lingkaran-lingkaran tersebut itulah yang kita kenal
dengan oligarki finansial. Seluruh
cabang ekonomi penting dan seluruh posisi kunci dalam alat-alat politik di
negeri-negeri kapitalis berada di tangan oligarki finansial.
1 komentar:
188bet Casino Review - TopBet
188bet Casino Review. Players reviews 188bet casino, what bonuses and games 188bet they leovegas offer and what bonus offers you can 더킹카지노 claim. See Rating: 4 · Review by Thtobet
Posting Komentar