FPBI (FEDERASI PERJUANGAN BURUH INDONESIA), PPI
(PERSATUAN PERJUANGAN INDONESIA), SMI (SERIKAT MAHASISWA INDONESIA),
SPTI (SERIKAT PEKERJA TRANSPORTASI INDONESIA)
UPAH LAYAK NASIONAL ADALAH HAK BURUH INDONESIA. BERIKAN UPAH
LAYAK NASIONAL BAGI PEKERJA DAN TOLAK LIBERALISASI DI INDONESIA
Sejak kekuasaan modal (kapitalisme)
berdiri tegak dengan prinsip liberalisasi atau mekanisme pasar bebas Negara
dengan segala perangkatnya menjadi tidak mampu atau gagal mensejahterakan
rakyat. Justru Negara berposisi tegas membenarkan dan turut serta melancarkan
program-program liberalisasi disegala sektor tidak terkecuali sektor tenaga
kerja.
Proses
liberalisasi sektor tenaga kerja tidak terlepas dari proses penetrasi modal
secara terus menerus baik dalam bentuk investasi langsung maupun investasi
tidak langsung. Kepentingan penanaman modal di Indonesia satu sisi adalah
penguassaan atas semua asset-asset vital/strategis untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya, dan disisi yang lain adalah bagian tak terpisahkan dari
sebuah Jalan
liberalisasi yang menjadi pilihan utama pembangunan nasional dari masa ke masa.
Ada begitu banyak program-program Rezim Jokowi – JK yang pasti akan
melanjutkan praktek kebijakan Neoliberalisme di Indonesia beberapa
diantaranya:
Pertama;
Pasar Bebas. Tepat per Januari 2015 Rezim Jokowi-JK
akan melaksanakan
kesepakatan yang sudah ditanda tangani
oleh rezim-rezim sebelumnya yakni pasar bebas ASEAN
(Masyarakat Ekonomi ASEAN)pada tahap lanjut akan berujung menjadi pasar bebas
dunia. Masyarakat ekonomi ASEAN tentu sudah bisa dipastikan akan semakin
ter-liberalisasi-nya pasar tenaga kerja, kesemuanya akan merugikan kaum buruh
Indonesia maupun kaum buruh Negara lain, sementara disisi yang lain
sepenuh-penuhnya hanya akan memberikan keuntungan pada si pemilik modal (dalam
negeri & luar negeri) yaitu semakin bebasnya arus modal keluar masuk tanpa
hambatan dan berujung pada semakin meningkatnya akumulasi modal secara terus
menerus.
Di sektor tenaga kerja kepentingan
tersebut tanpak begitu sangat jelas, program labour market fleksibility (LMF) merupakan bukti paling konkrit
sebuah skema liberalisasi di sektor tenaga kerja. Selain dari program tersebut
perangkat Negara sebagai alat politik para kapitalisme (pemilik modal)
memperkuatnya dengan menjalankan politik upah murah dan mendapatkan legitimasi
dari regulasi-regulasi yang membenarkan program tersebut.
Sistem kerja yang luwes atau fleksibel
seperti kerja kontrak & outsourcing merupakan wujud nyata bahwa kaum
buruh/pekerja tidak memiliki kepastian masa depan, kaum buruh antar sesama
kaumnya akan semakin bersaing atau berebut untuk mendapatkan kebaikan pengusaha
dalam banyak hal, padahal itu tidak mungkin dan hanya akan mendatangkan
kerugian bagi kaum buruh dan keuntungan bagi si pengusaha. Maka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MAE) merupakan
penyempurnaan atau pematangan konsep Labour
Market Fleksibility (LMF) menuju liberalisasi tenaga kerja sepenuhnya.
Kedua; Pencabutan subsidi di sektor
public. pada semester pertama tahun 2013 pemerintah menaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan alasan defisit anggaran karena subsidi, alasan karena salah sasaran. Padahal
sesungguhnya kepentingan mereka adalah melepaskan monopoli Negara atas energi
dan memberikan para pengusaha dalam negeri maupun luar negeri untuk menguasai
asset-asset vital milik negara. Akibatnya secara bertahap kekayaan yang
dimiliki Negara seperti energi yang seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat menjadi kemakmuran segilintir individu para pemilik modal
atas penguasaan modal swasta. Disisi yang lain nasib rakyat atas kenaikan BBM
adalah terjadinya penurunan daya beli rakyat karena terjadinya lonjakan
kenaikan harga barang dan jasa.
Ketiga; Politik Upah Murah. Upah
sebagai ukuran kemampuan daya beli mayoritas kaum buruh di design sangat rendah
alias upah murah. Bahwa sampai saat ini kaum buruh selalu dihadapkan dengan
persoalan upah yang tidak mampu memberikan kehidupan yang layak dalam arti
sesungguhnya. Upah yang diterima kaum buruh kenyataannya hanya sekedar mampu
menjawab kebutuhan buruh supaya keesokan harinya bisa melakukan aktifitas
produksi kembali bukan untuk hidup layak secara manusiawi (tercukupinya
kebutuhan baik kuantitas maupun kualitas hidup buruh).
Berbagai peraturan yang dibuat dan
dikeluarkan pemerintah justru semakin menguatkan politik upah murah
diantaranya; permenakertrans 13 tahun 2012 yang hanya mengatur 60 komponen
kebutuhan dengan kualitas yang masih rendah, Undang-Undang 13 tahun 2003 yang
mengatur batasan minimum alias batasan paling rendah sebuah imbalan kerja,
mengatur penetapan upah yang diserahkan di masing-masing daerah padahal
kebutuhan untuk kesejahteraan hidup buruh prinsipnya sama.
Pada tahun 2013, pemerintah
mengeluarkan intruksi presiden yang menyatakan bahwa UMP/UMK 100% KHL artinya
upah tidak boleh dinaikkan dan peraturan menteri tenaga kerja 07 tahun 2013
tentang upah minimum yang berdasarkan hasil perhitungan 60 KHL.
Kebutuhan hidup layak yang dimaksudkan
peraturan tersebut adalah UMP/UMK yang sama bagi seluruh buruh lajang,
berkeluarga, berkeluarga anak satu dan seterusnya. Padahal terdapat perbedaan
yang tidak bisa disamakan antara kebutuhan buruh lajang dengan non lajang
(sudah berkeluarga).
Terkait dengan survey, untuk
mendapatkan nilai nominal atas barang-barang kebutuhan dilakukan di pasar-pasar
tradisional, sementara buruh mayoritas melakukan transaksi pembelian dilakukan
di warung-warung sekitar tempat tinggal/kontrakan dengan harga yang tentu
berbeda dengan harga di pasar-pasar tradisional.
Dari survey kaum buruh yang dilakukan
terdapat perbedaan jumlah kebutuhan di luar permenaker 13 tahun 2012. Bahwa
hasil survey buruh jumlah kebutuhan buruh masih banyak yang tidak masuk sebagai
item komponen yang harus di survey misalnya; jumlah jenis daging yang
ditentukan hanya satu antara daging sapi atau daging ayam, ikan segar, komponen
perumahan yang ditetapkan hanya sewa kamar, pendidikan dll. Begitu juga dengan
jumlah kebutuhan setiap komponennya. Sedangkan segi kualitas komponen juga
masih rendah. Misalkan minyak goreng kualitas curah dll.
Selain hal itu, peninjaun upah yang
dilakukan sekali setahun bahkan mau dirubah sekali 2 tahun prinsipnya
menetapkan upah bersifat tetap (constan) selama setahun, sementara
produktifitas meningkat dan inflasi terus mengalami perubahan setiap bulannya.
artinya upah tidak ditetapkan secara relatif yaitu apabila
terjadi inflasi yang mempengaruhi kualitas upah ril dilakukan peninjauan, dan
tidak berlaku apabila terjadi penurunan harga (deflasi) tidak dilakukan
peninjuan yang menurunkan nominal upah karena itu adalah bagian dari
perlindungan upah oleh pemerintah.
Tentang
Upah, yang sudah jelas diatur dalam UUK (Undang2 Ketenagakerjaan) No.13 Tahun
2003 pasal 90 ayat (1) yaitu bahwa pangusaha dilarang membayar Upah lebih
rendah dari Upah Minimum yang sudah ditetapkan, untuk Tahun 2014 adalah Rp. 1.20 Lalu ada sanksi bagi pengusaha yang
melanggar yaitu sanksi Pidana kurungan penjara paling singkat 1 tahun dan
paling lama 4 tahun penjara dan/atau Denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (Seratus
Juta Rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (Empat Ratus Juta Rupiah). Dan
Upah Minimum yang ditetapkan itu diperuntukan bagi Pekerja yang belum menikah
dan bekerja belum sampai 1 tahun, lalu bagi pekerja yang sudah menikah berapa
upah yang didapatkan ??? Ternyata di dalam peraturan pengupahan tidak
mengcover upah bagi buruh yang telah berkeluarga.
Kenyataannya di Yogyakarta ini banyak sekali pelanggaran upahnya yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan,yaitu memberikan upah di bawah ketentuan
upah minimum seperti yang terjadi di PT. Sport Glove Indonesia di daerah
Godean,Sleman. Upah buruhnya hanya Rp. 800.000,00. Padahal jelas UMK Sleman
adalah Rp. 1.127.000,00. Belum lagi perusahaan lainnya yang menerapkan hal yang
sama. Belum lagi besaran upah yang diusulkan oleh Dewan Pengupahan hanya
sebesar Rp 1,3 juta untuk upah 2015, yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup
layak selama 1 bulan. Karena harga barang dan jasa sebagai kebutuhan hidup
semakin lama semakin mahal dan tidak terjangkau. Dan penerapan upah di bawah
UMK ini peran negara di instansi pemerintah dan penegak hukum tidak berjalan
semestinya. Banyaknya pembiaran yang dilakukan pemerintah terhadap perusahaan
yang melanggar ketentuan upah minimum. Ironis memang apa yang dilakukan pemerintah.
Lagi-lagi nasib kaum buruh diacuhkan oleh negara.
Untuk biaya pendidikan dan kesehatan pun buruh terpaksa harus berhutang
agar bisa menyekolahkan anaknya dan mengakses kesehatan. Padahal pendidikan
sudah seharusnya diberikan oleh negara kepada seluruh rakyat Indonesia dengan
gratis. Karena ini adalah tugas dan tanggung jawab negara. Tetapi karena di
Indonesia sebagian besar sumber daya alamnya telah dijual ke asing, maka rakyat
Indonesia lah yang menjadi korbannya. Pendidikan semakin lama semakin
diprivtisasi dan mahal. Pemerintah sudah menerapkan sistem yang menghamba
kepada kaum modal. Tentunya kebijakan dan sikap pemerintah akan mengikuti
kepentingan pemodal dan akibatnya menyengsarakan rakyat.
Di tengah upah buruh yang belum layak, lagi-lagi pemerintahan baru yang
dipimpin Jokowi akan menaikkan harga BBM. Tentunya ini akan berdampak langsung
kepada rakyat, yang menjadikan rakyat semakin miskin dan susah. Subsidi
dicabut, rakyat kalang kabut. Harga kebutuhan hidup pun semakin mahal. Dan di tahun 2015 besok akan diadakan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan menumbalkan rakyat yang akan bersaing
dengan tenaga kerja asing yang lebih terampil. Ini akan menggeser posisi tenaga
kerja Indonesia yang nantinya akan menjadi budak di negeri sendiri, karena kita
akan diperintah oleh asing. Indonesia
belum siap menghadapi MEA dan kalau nantinya dipaksakan, maka yang menjadi
korban adalah rakyat Indonesia. Menghancurkan sendi-sendi perekonomian
nasional,runtuhnya kedaulatan negara, dan Indonesia akan semakin disetir oleh
asing. Berbagai perjanjian dengan asing nyatanya malah merugikan rakyat itu
sendiri. Dan inilah sistem neoliberalisme yang harus dilawan.
Berdasarkan
kenyataan-praktik politik upah murah yang semakin memiskinkan kaum buruh, kami dari KPRY yang terdiri dari organisasi rakyat
menuntut kepada negara :
1.
Tolak politik upah murah, dan berlakukan upah layak nasional
2. Usut tuntas pelanggaran normatif pekerja di
perusahaan.
3. Hapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing
4. Tolak kenaikan harga BBM
5. Tolak program-program liberalisasi ekonomi
: MEA,LOI,ACFTA,AFTA
6. Wujudkan pendidikan gratis,ilmiah,demokratis,
dan bervisi kerakyatan
7. Cabut paket Undang-Undang Anti Demokrasi
Untuk mencapai tuntutan
tersebut, maka solusi yang bisa dilakukan negara adalah :
1.
Nasionalisasi perusahaan asing yang menguasai aset vital di Indonesia
2. Bangun industrialisasi nasional yang kuat di
bawah kontrol rakyat
3. Laksanakan reforma agraria sejati
Kami dari FPBI dan KPRY yang ada di Yogyakarta
ini juga menyerukan kepada para buruh,
serikat-serikat buruh dan seluruh gerakan rakyat di Indonesia untuk :
Membangun usaha
kongkrit dalam memperbesar konsolidasi bersama tingkat pabrik sampai nasional
yang kuat untuk menyiapkan gerakan nasional untuk mendesak pemberlakukan Upah
Layak Nasional kepada pemerintah.
Sekian. Salam pembebasan !!!
Kordum Aksi
Contact person : Restu FPBI(087739386496), Arman
SMI(081246162339), Iwan PPI (089687147708), Arsiko SPTI (081804084999)
0 komentar:
Posting Komentar